Selasa, 23 Desember 2008

kabeh ono

Terjebak Permainan

By sebastian | July 17, 2008 

Namaku Nina, saat ini aku sedang kuliah semester akhir di salah satu perguruan tinggi swasta di kota Bandung. Saat kejadian itu menimpaku, aku sedang duduk di semester dua. Sebenarnya seluruh keluargaku tinggal di kota Jakarta, dan mereka agak keberatan jika aku harus kuliah di luar kota, tapi saat itu aku sudah bertekad untuk belajar hidup mandiri hingga akhirnya mereka mengijinkan aku untuk melanjutkan studi di kota tersebut.

Di Bandung aku tinggal di sebuah kos putri yang letaknya tidak begitu jauh dari kampusku. Aku tinggal bersama seorang temanku yang aku kenal di kampus. Namanya Lenny, dia gadis berdarah Sunda asli. Padahal dia bisa saja tinggal di rumahnya yang juga berada di kota Bandung, tapi menurutnya dia ingin lebih bisa berkonsentrasi dengan kuliahnya, jadi dia memutuskan untuk tinggal di kos bersamaku.

Lenny adalah gadis yang sangat pintar dan juga sopan, begitu sopannya sampai-sampai dia tidak pernah mengenakan pakaian yang seksi atau sedikit terbuka saat bepergian atau berangkat kuliah, padahal menurutku wajah Lenny sangat cantik, rambutnya panjang dan hitam dengan kulit tubuh yang putih mulus, layaknya gadis gadis Sunda pada umumnya, sementara postur tubuhnya juga sangat bagus dan proporsional, pinggangnya ramping didukung oleh kedua belah kakinya yang jenjang, apalagi Lenny juga memiliki payudara yang besar, mungkin dua kali lebih besar daripada buah dadaku. Pokoknya, jika saja Lenny mau berdandan dan sedikit mengubah penampilannya, dia bisa menjadi salah satu gadis tercantik di tempat kuliahku.

Untuk memenuhi kebutuhanku agar tidak terlalu mengandalkan uang kiriman dari orang tuaku, aku memutuskan untuk kuliah sambil bekerja paruh waktu di salah satu club billiard yang cukup besar dan eksklusif di kota Bandung. Aku bekerja menjadi salah seorang penjaga meja, sekaligus merangkap pramusaji di club tersebut, kadang kadang aku merasa sangat lelah dan letih, apalagi jika aku harus terpaksa pulang larut malam dari tempat kerja. Tapi tidak apalah, yang penting aku bisa mempunyai cukup uang dan dapat memenuhi kebutuhanku sendiri tanpa harus mengandalkan kiriman uang dari orang tuaku, lagipula aku sudah bertekad untuk belajar hidup mandiri.

Singkat cerita, hari itu aku sedang bingung, karena besok adalah hari terakhir waktu pembayaran uang semester, padahal kiriman dari orang tua belum juga sampai ke rekeningku, dan saat gajianku masih seminggu lagi, sementara uang tabunganku sudah habis untuk keperluan dan biaya hidupku sehari-hari hingga sore itu aku benar benar pusing memikirkannya. Akhirnya, kuberanikan diri untuk meminjam uang ke club tempat aku bekerja, tapi perusahaan tidak dapat mengabulkan permohonanku dengan alasan saat itu tidak ada dana yang tersedia karena seluruh uang yang ada sudah disetorkan ke pemiliknya.

Malam itu, dengan perasaan sedih dan bingung, aku berkemas untuk pulang kembali ke kosku. Saat itu jam kerjaku memang telah selesai. Aku berjalan lunglai dari ruangan karyawan, bingung memikirkan nasibku besok, saat kulihat Lenny sudah menungguku di ruang tunggu

“Gimana Nin? Dapat pinjaman uangnya?” tanya Lenny.
“Nggak bisa Len.. Nggak apa-apa deh, besok gua minta keringanan aja dari kampus” ujarku dengan nada lemas.
“Elu sendiri, dari mana.? Tumben mampir ke sini?” tambahku sambil melihat ke arah jam tanganku, saat itu sudah hampir jam sepuluh malam, tidak biasanya Lenny berani keluar malam-malam, pikirku heran.
“Gua abis dari mall di depan, ngecek ATM, siapa tahu kiriman gua udah sampai, buat nalangin bayaran elu, tapi ternyata belum sampai..” ujar Lenny dengan nada menyesal.
“Thanks banget untuk usaha lu Len.” ujarku sambil mengajaknya pulang.

Kami berdua berjalan melewati ruangan billiard. Saat itu di sana masih ada empat orang tamu yang sedang bermain ditemani oleh manajerku, mereka adalah teman-teman dari pemilik club tersebut, jadi walaupun club tersebut sudah tutup, mereka tetap dapat bebas bermain. Aku sempat berpamitan dengan mereka sebelum aku kembali berjalan menuju pintu keluar saat tiba-tiba salah seorang dari mereka memanggilku..

“Nin.., Temenin kita main dong..!” serunya.
“Kita taruhan. Berani nggak?” tambah temannya sambil melambaikan tangannya ke arahku.

Aku tertegun sejenak sambil menatap bengong ke arah mereka. Rupanya mereka sedang berjudi, dan mereka mengajakku untuk bergabung. Wah, boleh juga nih. Siapa tahu menang.., pikirku.

“Taruhannya apa? Saya lagi tidak bawa uang banyak..!” seruku, sementara kulihat Pak Dicky manajerku, berjalan menghampiriku.
“Gampang.., kalau kamu bisa menang, satu game kami bayar lima ratus ribu, tapi kalau kamu kalah, nggak perlu bayar, kamu cuma harus buka baju aja, kita main sepuluh game.. Setuju?” seru salah seorang dari mereka.

Aku terkesiap mendengar tantangannya, kulirik Lenny yang saat itu sudah berada di depan pintu keluar, dia tampak menggelengkan kepalanya, sambil memberi tanda kepadaku, agar aku cepat-cepat meninggalkan club tersebut.

“Brengsek! Nggak mau..!” ujarku sambil membalikkan tubuhku. Bisa-bisa aku telanjang kalau dalam sepuluh game itu aku kalah terus, pikirku dengan sebal. Tapi tiba-tiba langkahku terhenti saat tangan manajerku menahan pundakku.
“Terima aja Nin, kamu kan lagi butuh uang, lagipula mereka nggak begitu jago kok..!” ujar manajerku berusaha membujuk.
“Tapi Pak..!” jawabku dengan nada bingung, sebenarnya aku mulai tertarik untuk memenuhi tantangan mereka, dengan harapan aku bisa memenangkan seluruh game, lagipula aku benar benar membutuhkan uang tersebut.
“Sudahlah.! Kalau kamu bersedia nanti saya kasih tambahan uang, lagipula nggak enak menolak tamu-tamu bos..” ujarnya sambil terus membujukku.
“Oke.. Tapi kalau saya kalah terus gimana?” tanyaku kepada mereka.
“Tenang aja, kamu hanya lepas baju aja kok! Kami janji nggak akan berbuat macam macam..!” seru orang yang berada paling dekat denganku.
“Baik.. Tapi janji.. Tidak akan macam macam!” jawabku memastikan perkataan mereka, sementara Lenny langsung berjalan menghampiriku.
“Lu udah gila apa Nin..! Gua ngga setuju!” serunya dengan nada marah.
“Tenang aja Len, elu duduk aja di sana, nungguin gua..! Oke?” ujarku sambil menunjuk ke arah sofa yang berada di pojok ruangan.
“Tapi Nin?” ujar Lenny dengan wajah ketakutan.
“Udah, nggak apa-apa, elu nggak perlu takut..” sanggahku sambil tersenyum menenangkan hatinya, akhirnya Lenny pun berjalan dan duduk di sofa tersebut.

Sudah lima game berjalan, aku menang dua kali dan kalah tiga kali, membuat aku harus menanggalkan jaket, blouse dan celana panjang yang kukenakan hingga saat itu hanya tersisa bra dan celana dalam saja yang masih melekat di tubuhku. Jangan sampai kalah lagi, ujarku dalam hati, dua kali lagi aku kalah, maka aku akan benar-benar bugil. Pikiranku mulai panik, sementara di pojok ruangan, Lenny sudah tampak mulai resah melihat keadaanku.

Tapi naas. Udara dingin dari AC di ruangan tersebut membuat aku sulit untuk berkonsentrasi sehingga aku kembali kalah pada game keenam, membuat mereka langsung bersorak riuh, memintaku untuk segera menanggalkan bra yang kukenakan. Aku sudah hampir menangis saat itu, tapi mereka terus memaksaku, maka dengan perasaan berat dan malu, akhirnya kulepaskan juga bra yang melekat di tubuhku, membuat buah dadaku langsung mencuat dan terbuka di hadapan mata mereka yang tampak melotot saat memandang tubuh telanjangku.

“Sudah.. Sudah, kita berhenti saja, saya menyerah!” seruku memelas sambil berusaha menutupi tubuh bagian atasku, saat itu aku sudah merasa sangat malu dan tidak lagi berminat untuk meneruskan taruhan itu.
“Nggak bisa..! Perjanjiannya kan sampai kamu telanjang, baru permainannya selesai..!” protes lawan mainku, akhirnya aku hanya bisa menuruti kemauannya.
“Buka.. Buka..!” sorak mereka saat pada game berikutnya aku kembali kalah dan harus melepas celana dalamku.
“Sudah.. Kita batalkan saja taruhannya..!” jeritku sambil meraih pakaianku dan berlari menjauhi mereka, tapi salah seorang dari mereka dengan sigap menubrukku dari belakang, membuatku terhempas di atas meja billiard dengan posisi menelungkup dan laki-laki itu menindihku dari atas.
“Lepaskan..!” teriakku kaget sambil meronta dengan sekuat tenaga, tapi laki laki itu terus menindihku dengan kuat, membuat aku benar benar tidak bisa bergerak sama sekali, akhirnya aku terkulai lemah tak berdaya sambil terus menangis.
“Pak dicky..! Tolong saya Pak..!” jeritku sambil menyapukan pandangan mencari manajerku.

Betapa terkejutnya aku saat kulihat Pak Dicky sedang mendekap tubuh Lenny sambil tangannya berusaha melucuti pakaian yang melekat di tubuhnya dibantu oleh tiga orang temannya. Bersamaan dengan itu kurasakan sesuatu mendesak masuk ke dalam liang kemaluanku. Rupanya saat itu laki-laki yang berada di atas tubuhku, sudah akan memperkosaku. Dia menyelipkan batang penisnya dari sela-sela celana dalam yang kukenakan dan terus menekannya dengan keras, membuat batang kemaluannya makin terhunjam masuk melewati bibir vaginaku.

“Jangan.. Ouh..!!” jeritku sambil berusaha menahan pahanya dengan kedua tanganku, tapi batang kemaluannya terus melesak masuk, sehingga akhirnya benar-benar terbenam seluruhnya di dalam liang vaginaku.
“Jangan keluar di dalam, Pak..!” gumamku pelan sambil menahan tubuhku yang berguncang saat laki-laki itu mulai memompaku.
“Oke.. Uh.. Ssh.. Kamu cantik Nina..!” ceracau laki laki itu saat mulai bergerak di dalam tubuhku.
“Ouh.. Hh..!” desahku lirih.

Aku memejamkan mataku, merasakan getaran yang mulai menjalari seluruh tubuhku, saat pemerkosaku menghentakkan tubuhnya dengan makin cepat, membuat aku mulai terangsang saat itu, dan tanpa sadar aku pun ikut menggerakkan pinggulku, berusaha mengimbangi gerakannya.

Aku memang sudah sering melakukan hubungan badan dengan pacarku sejak aku masih duduk di bangku SMU, malah kegadisanku telah terenggut oleh pacarku saat aku masih di kelas satu SMA, dan sejak saat itu kami rutin melakukan aktifitas seks, sampai akhirnya aku pergi melanjutkan studi di Bandung, dan sekarang aku kembali merasakan kenikmatan itu setelah selama satu tahun aku tidak pernah lagi bersetubuh.

“Ouh.. Shh. Ah.” desahku sambil terus menggoyangkan pinggulku.

Sementara di pojok ruangan, kulihat Lenny sedang berjuang dengan sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari keempat orang yang sedang menggumulinya. Saat itu keadaan Lenny benar benar sudah sangat berantakan, kemeja lengan panjang yang di kenakannya sudah terbuka lebar dan hampir lepas dari tubuhnya, sementara bra yang dikenakannya sudah tampak setengah terbuka hingga membuat satu payudaranya menyembul keluar.

“Jangan.. Jangan.. Lepaskan.. Tolong..!” jeritnya keras sambil berusaha meronta dan melawan dengan gigih saat seseorang dari mereka mulai mengangkat rok panjang yang dikenakan oleh Lenny.
“Jangan..! Toloong..!” jerit Lenny makin keras sambil menendang-nendangkan kedua belah kakinya saat mereka mulai menggerayangi tubuh bagian bawahnya dengan buas.
“Hentikann..! Hentikan.!” teriak Lenny putus asa sambil menangis sejadi-jadinya sementara tangannya berusaha menggapai ke arah bawah, mencoba menahan tangan-tangan yang sedang melolosi celana dalamnya, tapi gerakannya tertahan oleh tangan Pak Dicky yang saat itu terus mendekap tubuh Lenny dari belakang.

Manajerku itu terus memaksanya untuk tetap berada di dalam pangkuannya, sambil sesekali meremas dan mempermainkan puting buah dada Lenny. Beberapa saat kemudian, dua orang dari mereka mengangkat tubuh Lenny sambil merenggangkan kedua belah kakinya, sementara Pak Dicky tetap mendekap tubuh Lenny sambil mulai mengarahkan batang kemaluannya ke sela-sela bibir kemaluan temanku itu.

Saat itu keadaan Lenny sungguh sangat mengenaskan, pakaian bagian atasnya sudah terbuka dengan lebar, sementara roknya pun telah tersingkap sampai sebatas perutnya, dan aku dapat melihat jelas, saat tubuh Lenny tampak menggeliat hebat ketika kedua orang yang mengangkat tubuhnya itu mulai menurunkannya dengan perlahan, membuat batang kemaluan Pak Dicky melesak masuk ke dalam liang vaginanya.

“Ough..! Jangaan..!” jerit Lenny parau sambil meringis kesakitan ketika vaginanya mulai dijejali oleh kemaluan Pak Dicky.

Perlahan, kulihat batang kemaluan itu terus melesak masuk sampai akhirnya lenyap dan terbenam seluruhnya di dalam liang rahim Lenny, saat itu tubuh Lenny benar-benar telah menyatu dengan tubuh Pak Dicky. Dan Lenny tampak mengerang kesakitan sambil menggeliatkan tubuhnya.

“Arghh.. Sakitt.., perihh, lepaskan itu dari tubuhku..!” jerit Lenny dengan nafas yang tersengal-sengal, dia masih berusaha meronta, ketika Pak Dicky mulai bergerak di dalam tubuhnya, membuat Lenny makin menjerit-jerit kesakitan, sampai akhirnya tubuhnya terkulai lemas tak sadarkan diri di dalam dekapan Pak Dicky.

Pak Dicky masih terus memompa tubuh Lenny yang pingsan itu dengan kasar, begitu kasarnya hingga membuat tubuh temanku itu ikut berguncang dengan hebat. Buah dadanya yang besar tampak menggeletar dan terlempar kesana kemari saat tubuhnya bergerak naik turun, sementara saat itu aku pun masih terus digarap oleh laki-laki yang sedang memperkosaku, sampai akhirnya tubuhku menegang dengan keras.

“Ohh..!” aku mendesah keras saat telah mencapai orgasme, seluruh sumsum di tulangku serasa ditarik keluar ketika aku benar-benar telah mencapai puncak kenikmatan, tapi tiba-tiba aku menjadi panik luar biasa saat kurasakan penis laki-laki itu berdenyut keras di dalam liang rahimku.

“Jangan.. Jangan di dalam..! Lepaskan.. Bajingan..!” jeritku putus asa saat kurasakan cairan hangat membanjiri rongga kemaluanku. Laki-laki itu telah menyemburkan cairan spermanya di dalam liang rahimku.

Sesaat kemudian posisinya sudah digantikan oleh temannya, dan aku kembali diperkosa. Sementara di pojok ruangan, Lenny pun masih terus digarap oleh mereka, kulihat darah keperawanannya meleleh keluar dari sela-sela bibir vaginanya, bercampur dengan cairan sperma, saat seorang dari mereka mulai kembali melesakkan liang vagina Lenny dengan batang penisnya.

Malam itu, Aku dan Lenny menjadi piala bergilir, tubuh kami berdua dikerjai dan diperkosa habis-habisan oleh mereka. Siksaan itu baru berakhir saat waktu sudah menunjukkan jam empat subuh. Kulihat di depanku tertumpuk sejumlah uang pecahan seratus ribu. Kuraih uang tersebut sambil berusaha bangkit dan mengenakan seluruh pakaianku, setelah itu aku berjalan mendekati tubuh Lenny yang masih meringkuk di sudut ruangan. Saat itu dia sudah siuman dari pingsannya, dia mengerang kesakitan sambil menangis meratapi kegadisannya yang telah terenggut paksa pada malam itu. Kurangkul tubuhnya dan membantunya berjalan pulang..

Sebelum sepuluh tahun yang lalu aku hanyalah anak laki-laki biasa yang senang bermain bola di lapangan yang becek sisa hujan semalam atau berlari-larian mengejar layangan putus sampai ke kebun orang dan dimarahi sang pemilik kebun. Tapi kemudian..

***

“Kak, mandi dulu baru makan!” teriak ibuku dari dapur.
“Ntar ah, lapar nih, Bu!” balasku juga berteriak.
“Kamu sih, main dari mulai pulang sekolah, baru pulang sore-sore begini.” Ibuku mengomel.

Habis mau bagaimana lagi aku suka sekali bermain layangan, apalagi sekarang sedang musimnya, jadi banyak sekali layang-layang yang berterbangan di atas langit sana mengajakku bermain kejar-kejaran dengannya.

“Ntar Mas Agus mau ke sini lho!” ucap ibuku.
“Iya, udah tahu!” balasku.

Mas Agus, pamanku, adalah anak dari kakak perempuan ayahku yang tinggal di sebuah kota di Jawa Tengah yang terkenal dengan candi Borobudurnya, dan di situ pulalah Mas Agus bekerja sebagai seorang tentara berpangkat sersan dua. Tapi walaupun tempat tinggal kami berjauhan, keluarga kami dan paman sudah sangat dekat. Dua atau tiga minggu sekali Mas Agus datang berkunjung ke rumah kami di Bandung.

Apabila paman datang aku pasti merasa sangat senang. Mengapa? Karena paman sangat baik, ia selalu mengajakku pergi berbelanja ke supermarket, dia membelikan banyak sekali barang yang kuminta. Ia sangat suka dengan anak kecil. Selain itu Mas Agus belum menikah padahal umurnya sudah hampir kepala tiga. Ia bilang pada ayahku bahwa ia belum siap untuk berumah tangga.

“Indra sini, ada Mas Agus.” panggil ibuku dari ruang tamu.
“Bentar Bu, lagi mandi.” teriakku dari dalam kamar mandi.

Kupercepat mandiku, kubilas seluruh busa-busa sabun yang menempel di badan hingga bersih, kemudian kuambil handuk dan kukeringkan di tubuhku. Lalu aku bergegas masuk kamar. Saat pintu kamar kubuka, ternyata Mas Agus sudah ada di dalam kamar.

“Udah mandinya?” tanyanya.
“Udah, seger banget Mas!” jawabku.
“Sini dibajuin sama Mas Agus.”
“Lepasin dulu handuknya, Ndra!”

Kulepaskan handuk dari tubuhku. Paman menatapku dengan pandangan aneh, lurus dan tajam ke arahku, tepatnya tubuhku.

“Mas Agus! Mas Agus!” kupanggil namanya beberapa kali. Dan seperti bangun dari mimpinya, dengan sedikit terhentak Mas Agus tersadar kembali.
“Oh, mm, kamu ambil bajunya terus bawa ke sini, biar Mas agus yang pakein.”

Kupilih salah satu t-shirt di dalam lemari, juga kaus dalam, CD, dan celana pendeknya, dan kemudian memberikannya pada Mas Agus. Mas Agus menerimanya dan meletakkan semuanya di atas kasur. Kemudian ia meraih bedak powder di atas meja di samping ranjang.

“Mas itu mah bedaknya ade. Aku kan udah gede udah nggak pake bedak lagi” ucapku saat itu juga.
“Ah, nggak apa-apa kok biar wangi.” jawabnya.

Mas Agus mulai menaburkan bedak dan menggosokkannya dengan rata ke seluruh tubuhku, termasuk pantatku, dan.. penisku.

“Badan kamu bagus, udah besar mau jadi apa? Mau nggak jadi tentara?” tanya pamanku masih sambil menggosok-gosokan bedak di tubuhku.
“Nggak tau ah, gimana entar aja.” jawabku sambil agak ketawa, habis geli banget diraba-raba sama Mas Agus.
“Sebentar yah!” Mas Agus beranjak dari ranjang menuju pintu kamar kemudian menguncinya.
“Kalo kamu jadi tentara nanti badan kamu bakal kebentuk seperti paman. Nih Mas Agus tunjukin badan Mas Agus.”

Paman mulai membuka pakaiannya helai demi helai. Diawali dengan kemeja biru langitnya, lalu kaus singletnya. Wah, badan Mas Agus memang bagus banget, dadanya keren, walaupun tidak begitu besar tapi berisi. Perutnya, wah kalau sekarang nih orang bilang six-packs. Lalu Mas Agus mulai membuka celana panjangnya. Di dalamnya terlihat CD-nya yang berwarna putih. Kemudian ia lanjutkan helai terakhir dan, wah.. besar sekali, di sekelilingnya juga ada hamparan bulu-bulu halus yang rapi terpotong pendek.

“Sini coba kamu pegang badan Mas Agus.” pintanya.
“Nah, kalau kamu mau jadi tentara kamu harus banyak olahraga dari sekarang, jadi badan kamu akan terbentuk seperti badan Mas Agus.” Dijelaskannya bagaimana ia bisa memiliki tubuh yang dibanggakannya sambil menuntun tanganku di sekitar dada dan perutnya.
“Ini kamu juga bakal ikut besar.” ucapnya sambil memegang penisku.
“Indra! Turun dulu!” Mas Agus spontan melepaskan tangannya dari penisku dan kembali memakai pakaian yang tadi dilepasnya saat mendengar teriakan Ibuku dari bawah.
“Iya!” teriakku sambil memakai pakaian yang dari tadi menunggu untuk kukenakan.

Saat malam sambil menonton televisi di ruang keluarga, paman menghampiri dan menaikkanku dalam pangkuannya.

“Kok nggak belajar?” tanyanya memulai percakapan.
“Nggak ada PR” jawabku singkat.
“Belajar kan nggak harus pas ada PR.” ucapnya menasehati. Aku diam saja, tak membalas.

Masih dalam pangkuan Mas Agus, waktu berlalu tanpa berkata sampai mataku akhirnya terpejam kelelahan, terlelap dalam pangkuannya. Tapi dalam hening malam itu, aku terusik oleh sesuatu. Tapi apa? Aku merasa ada seseorang yang meraba-raba tubuhku. Aku merasa begitu geli. Tapi kemudian rabaan-rabaan itu berhenti. Aku ingin membuka mataku.

Sedikit demi sedikit mataku terbuka. Dimana ini? Oh ini kan kamar tamu, pasti tadi Mas Agus menggotongku ke kamarnya karena aku ketiduran. Bola mataku bergerak ke arah kanan dan kulihat samar Mas Agus berdiri di samping ranjang sedang membuka helai demi helai pakaiannya. Setelah semua pakaiannya tanggal dari tubuhnya kemudian ia mengambil sesuatu di dalam tas ransel yang dibawanya. Kemudian paman duduk di ranjang, tepat di sampingku. Segera aku kembali memejamkan mataku, berpura-pura tidur. Tapi kemudian..

“Indra.. Indra..!” terdengar paman berbisik di telingaku, membangunkanku. Kubuka mataku pelan-pelan.
“A-apa?” tanyaku berdebar-debar.
“Mas Agus pegal-pegal nih, kamu pijitin sebentar yah!” pintanya.
“Kamu nggak kepanasan? Sini Mas Agus bukain bajunya.” Tanpa mendengar jawabanku, paman langsung melucuti pakaianku satu persatu sampai telanjang sama sepertinya. Kemudian paman merebahkan tubuhnya, tengkurap di ranjang.
“Kamu pijitin Mas Agus, yah! Kamu duduk di punggung Mas Agus aja biar gampang.” ucapnya. Kuturuti sarannya dan lalu kemudian mulai menggerak-gerakkan jariku di pundaknya.
“Iya di situ Ndra, duh enak banget!” ucapnya puas.

Iya Mas Agus enak, nah aku, orang lagi mengantuk malah disuruh mijit. Tak pelak hampir tiap menitnya aku menguap karena mengantuk. Tapi kemudian..

“Pantat Mas Agus juga pegel nih, pijit yah!” pintanya lagi.
“Iya.” jawabku singkat. Aku bergeser mundur hingga kudapat posisi terbaik untuk memijat. Dan kembalilah jari-jariku bekerja. Memijat pantatnya yang padat berisi.
“Kok nggak kerasa yah, digigit aja deh!” pintanya.
“Digigit?” tanyaku spontan.
“Iya digigit, tapi jangan keras-keras!” jelasnya.

Untuk sejenak aku terdiam. Apa? Aku harus memijat pantat Mas Agus dengan gigiku. Pantat yang berwarna lebih terang dari bagian tubuhnya yang lain itu, dengan mulutku. Namun kemudian aku tersadar kembali oleh suara Mas Agus.

“Ayo dong Ndra!” pintanya.
“I-iya.” jawabku.

Kubuka mulutku agak lebar, mendekatkan wajahku sampai akhirnya mendarat di permukaannya. Dan selanjutnya semua berjalan sesuai instruksi.

“Sambil dijilat Ndra biar licin!”
“Ah..”
“Disedot juga dong!”
“Nah.. Iya gitu!”
“Terus.. Terus Ndra..” ucapnya. Beberapa saat kemudian aku terhentak ketika secara tiba-tiba Mas Agus membalikkan tubuhnya.
“Sekarang yang ini!” katanya sambil menunjuk penisnya.

Karena aku ingin ini segera berakhir, tanpa banyak bertanya langsung saja kulakukan perintahnya. Dan instruksi-instruksi itu pun berlanjut. Aku dapat merasakan penis itu semakin lama semakin membesar. Warnanya pun yang tadinya putih kini memerah. Sampai akhirnya mulutku hanya dapat dimasuki bagian kepalanya saja. Sementara aku yang semakin mengantuk, mendengar suara desahan-desahan Mas Agus yang kian menderu. Hingga saat dimana kurasakan penisnya menyodok-nyodok masuk ke mulutku dan membanjiri isinya dengan cairan sperma Mas Agus yang hangat. Kemudian Mas Agus menarikku ke dalam dekapannya. Memelukku erat, mencium bibirku sampai lidahnya masuk dan merebut sebagian sperma yang tadi ia berikan padaku. Lalu diciuminya leherku, dielusnya tubuhku, sementara aku telah terlelap dan membisu.

Lima tahun kemudian, lima tahun sebelum hari ini Mas Agus yang sudah empat tahun tak pernah lagi berkunjung karena ditugaskan di luar kota, sore itu di hari Sabtu yang agak kelabu ia datang dengan seragam lengkapnya. Tapi kali ini ia datang tidak sendirian, ia datang bersama seorang wanita yang ia akui sebagai istrinya yang baru dinikahinya sekitar satu tahun yang lalu. Aku yang saat itu masih baru mengerti bahwa kejadian di malam dulu itu bukanlah hanya pijat-memijat biasa, merasa tidak percaya. Mungkinkah Mas Agus tidak seperti yang kupikirkan selama ini. Tapi.. aku.. aku telah telanjur ’sakit’..

Kuambil kursi itu dari tempatnya semula. Kemudian kuletakkan tepat di depan pintu. Pintu kamar dimana Mas Agus dan istrinya tidur. Sengaja aku tak tidur sampai lewat tengah malam begini hanya untuk membuktikan sesuatu. Kulihat dari celah udara yang sempit itu dan, kulihat Mas Agus di sana tepat sedang menindih tubuh istrinya. Mas agus menggerak-gerakkan penisnya keluar masuk vagina istrinya sambil tangannya mengelus-elus kedua buah dada istrinya. Sementara bibirnya sedang menggerayangi bagian leher.

Istri Mas Agus terlihat sangat menikmatinya, terlihat dari erangan-erangannya. Tapi tak lama kemudian semua berakhir, Mas Agus sudah berada di puncak dan melepaskan semua spermanya masuk ke dalam vagina istrinya. Kuletakkan kembali kursi kembali ke tempatnya. Lalu aku beranjak ke ruang keluarga dan menyalakan TV. Sendiri dalam temaram hanya ada cahaya televisi aku berniat untuk begadang sampai pagi dan mencoba untuk melupakan apa yang baru saja terjadi. Karena jawaban dari pertanyaanku sepertinya sudah terjawab langsung di mataku. Mungkin memang aku yang beranggapan salah..

“Kok belum tidur?” Tiba-tiba saja kudengar suara Mas Agus di sampingku mengagetkanku. Tapi aku diam tidak bisa menjawab. Mas Agus yang datang bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek itu membuatku menjadi gagu.
“Tolong pijitin Mas Agus, dong!” Tiba-tiba kalimat itu terdengar lagi setelah sekian lama. Tapi aku tetap diam.
“Ayo dong, sebentar aja kok!” lanjutnya.

Kemudian pelan-pelan mulai kuangkat tanganku ke atas pundaknya, lalu menyentuhnya. Tapi kemudian aku teringat akan kejadian yang baru saja kulihat. Kali ini dengan cepat kuangkat kembali tanganku dari pundaknya.

“Mas Agus, maaf Indra ngantuk, mau tidur.” ucapku sambil berlalu.

Keesokkan malamnya aku terbangun karena tak kuasa menahan rasa untuk buang air kecil. Lalu dengan sedikit berlari, aku bergegas ke kamar mandi. Kubuka pintunya dan kuperosotkan celana dengan cepat lalu CD dan, ahh.. lega sekali, seperti melepaskan beban. Setelah tetes terakhir kusiram penis dan lubang WC dengan air. Saat aku balikkan badan, kulihat Mas Agus sudah barada tepat di depan pintu. Langsung kutarik naik CD dan celanaku cepat lalu beranjak pergi.

Aku baru sampai di depan pintu kamarku ketika kurasa tangan itu menahanku dari belakang. Lalu membalikkan tubuhku. Aku tertunduk bisu. Lalu tiba-tiba ia mengangkat tubuhku, menggendongku masuk ke dalam kamarku. Setelah mengunci pintu, diturunkannya aku di tepi ranjang. Kemudian ia mengangkat wajahku yang tertunduk dan mendaratkan bibirnya tepat di bibirku.

Ciuman itu begitu lembut, perlahan tapi dapat kurasakan getarannya. Tanpa sadar tubuhku terjatuh di atas ranjang sambil terus berciuman. Lidah kami saling bertemu. Kemudian ia melepaskan pakaianku sambil menikmati ciumanku di bibirnya. Lalu ia mulai menjelajah daerah leherku, dijilatnya leher dan telingaku sampai memerah. Lalu ia bangkit dan membuka T-shirt yang dipakainya.

Setelah bajunya terlepas kuambil inisiatif untuk membuka sendiri celana yang dikenakannya juga CD-nya. Dan terlihat jelas kini apa yang sudah empat tahun tak pernah lagi kulihat. Tubuh itu masih tampak kekar. Sebuah penis berukuran besar yang teracung berwarna kemerahan dan di sekitarnya nampak bulu-bulu halus kini terpampang di depanku. Kujilati penis itu dengan lidahku dari buahnya sampai kepala penisnya. Lalu kulahap masuk ke dalam mulutku. Kugerakkan keluar masuk sambil kumainkan lidahku.

“Oh.. terus ‘Ndra!” ucapnya lembut. Kemudian ia memintaku berhenti dan melepaskan celana dan CD-ku.
“Ternyata kamu udah besar, yah!” ucapnya sambil tersenyum. Lalu dikulumnya penisku sampai memerah.
“Sekarang kamu masukin punya kamu ke sini, yah!” ucapnya sambil bergaya doggy style dan menunjuk lubang analnya. Kumasukkan penisku perlahan, pertama terasa sulit, tapi kemudian..
“Ah.. Ah.. Ah! Mas Aku mau keluar, nih!” ucapku dalam gairah. Mas Agus kemudian bangkit dan mengulum penisku hingga..
“Ah..!” erangku.

Spermaku masuk ke dalam mulutnya terus ke tenggorokannya. Tidak berhenti sampai di situ, kemudian ia baringkan tubuh lemasku di atas tubuhnya sehingga pantatku tepat berada di atas penisnya. Kemudian ia masukkan penisnya ke dalam lubangku dengan tangannya. Nikmat sekali. Sampai akhirnya Mas Agus bangkit menyemburkan semuanya di atas wajahku.

Dalam lelah dan kantuk, dengan mata sedikit terbuka kulihat Mas Agus berpakaian dan pergi meninggalkan kamarku, meninggalkan aku dalam dasar jurang yang gelap sampai hari ini..

Topics: Pemerkosaan | 9 Comments »
Sahabatku Levana

By sebastian | July 17, 2008 

Nama saya Kartika, usia 25 tahun dengan tinggi 168 cm, berat 53 kg, asli orang Bandung, kulit putih bersih. Ukuran payudara saya yang 34C termasuk lumayan besar untuk gadis seusia saya. Pekerjaan saya adalah sebagai manager operasional di sebuah perusahaan terkenal di daerah saya. Saya ingin mengeluarkan gelisah hati yang saya pendam selama ini, mudah-mudahan saya bisa berbagi dengan pembaca sekalian.

Saya di kantor mempunyai sahabat yang namanya Levana, sering saya panggil Ana. Orangya supel, dan mudah bergaul, tingginya 172 cm/53 kg, dengan kulit putih mulus, maklum orang Menado asli, 34B ukuran payudaranya. Saya mempunyai kelainan ini sejak masih gadis pada saat tinggal bersama kakak saya, Mbak Erni namanya.

Kapan-kapan saya ceritakan sejarah lesbian saya, tapi saya juga suka cowok lho sama seperti gadis-gadis lain. Hanya saja hampir tujuh puluh persen saya menyenangi cewek, saya tidak mengerti mengapa saya begini, mungkin suatu saat saya bisa sembuh total ya?! Saya sering jalan bersama Ana kalau ada undangan karena saya belum ada pasangan, banyak sih cowok yang naksir, cuma saya masih enggan saja untuk berpacaran. Saya ingat betul awalnya yaitu pada saat bulan Agustus 2004, sehabis pulang kantor.

*****

“Ka, sini sebentar” panggil Ana pada saya sambil mendekatkan Mercynya.
“Ada apa Na?” tanya saya heran pada Ana.
“Boleh nggak minta tolong?”
“Tolong apa?”
“Itu lho, rumah saya khan sedang direnovasi..”
“Terus?”
“Mmh, boleh numpang nginep nggak di rumahmu?” tanya Ana ragu-ragu.
“Alaa, gitu saja nanya, boleh dong, sekarang?”
“Iya, boleh khan?” tanya Ana sekali lagi meyakinkan dirinya sendiri.
“Udah, nggak usah banyak omong, ayo jalan” perintah saya sambil tersenyum.
“Okey, trim’s ya”

Maka setelah Ana mengambil baju sekedarnya, kami berdua meluncur ke rumah saya yang memang agak jauh dari kantor. Rumah saya mempunyai empat kamar, satu kamar untuk tamu dan kamar saya di tengah, saya tinggal sendiri karena orang tua saya tinggal di Surabaya.

“Na, ini kamarmu ya” kata saya sambil menunjukkan sebuah kamar padanya di ujung depan.
“Trim’s ya” jawabnya sambil masuk melihat-lihat kamar.
“Kutinggal dulu”
“Ya..” jawabnya sambil lalu.

Saya kemudian menuju kamar untuk mandi dan berganti baju, soalnya gerah sejak tadi. Sedang asyik-asyiknya saya memilih BH, tiba-tiba Ana masuk ke kamar.

“Eh.. Maaf ka, lagi pake baju ya?” katanya kaget melihatku masih memakai celana dalam berwarna merah dan belum mengenakan BH sama sekali.
“Oh Ana, masuk Na, nggak apa-apa kok” jawab saya sambil tersenyum melihatnya yang masih memandangi payudara saya yang termasuk besar dan montok.
“Wah, badanmu seksi juga ya?” ujarnya.
“Tentu saja, habis saya rajin senam sich”
“Oh ya, ada film bagus nich, nonton yuk” ajak Ana sambil menggandeng saya untuk menonton TV di ruang tengah.
“Bentar Na, kuganti baju dulu ya” jawabku sambil memakai BH dan kaos longgar serta celana pendek.
“Kutunggu ya..”
“Ya”. Kemudian Levana sudah duduk di depan TV sambil makan camilan, sedang saya masih sibuk membereskan baju yang berserakan.

Malam itu Ana mengenakan daster kuning hingga kelihatan kulit lengannya yang putih mulus, kadang-kadang karena duduk kami yang mepet, Ana dengan tak sengaja menyenggol payudara saya hingga perasaan saya jadi bertambah aneh. Mungkin karena acara TV yang membosankan, saya jadi tak tertarik lagi, saya lebih tertarik memperhatikan Ana saja. Ternyata Ana yang memakai daster itu, sudah tidak memakai BH lagi hingga tonjolan payudaranya kelihatan mencuat ke atas, mungkin karena kami sama-sama perempuan, jadi Ana tidak malu-malu lagi, bahkan kadang-kadang kakinya dinaikkan ke meja hingga bawahan dasternya jadi tersingkap dan memperlihatkan celana dalamnya yang berwarna putih.

Perasaan saya jadi lain hingga saya memutuskan untuk ke kamar dan berganti baju dengan daster tanpa memakai BH dan celana dalam juga, supaya bertambah nyaman kalau berdekatan dengan Levana. Sungguh Levana itu gadis yang cantik seperti artis mandarin. Saya kembali ke ruang tamu dan membawa kaset DVD untuk saya tonton bersama Ana, siapa tahu saja Levana tertarik dengan filmnya dan ingin mmh..

“Na, ganti ama DVD ya?”
“Film apaan tuch?”
“Ini, film romantis dari Jepang, pengin liat nggak?”
“Ya, bolehlah, abis acaranya nggak ada yang menarik sich”
“Okey, duduk dekat sini” pinta saya pada Ana untuk duduk di sofa agar nyaman menonton film itu.

Sebetulnya sich, itu film triple X dari jepang mengenai seorang gadis yang mencintai guru wanitanya lalu mereka bersetubuh dan bercinta dengan gaya yang romantis dengan berbagai macam gaya. Volume TV dan AC saya perbesar hingga Ana mendekat dan mepet dengan saya. Untung rumah sudah sepi karena pembantu sudah pulang semua dan lagi rumah saya besar, jadi volume suara TV yang besar itu tidak kedengaran lagi dari luar.

“Film BF ya?” tanya Ana tanpa menoleh pada saya.
“Tapi bagus lho, untuk pelajaran sex”
“Bagus, sich bagus, tapi saya jadi pengin nich” gumam Ana tak jelas karena napasnya yang makin berat dan diselingi suara orang bercinta dari TV yang makin kencang.
“Gimana kalau kupegang payudaramu” usulku.
“Hush, ngaco kamu Tika, kita ini sama-sama cewek tau” jawabnya sambil monyong, namun itu justru menambah gairah saya semakin tinggi.
“Daripada kamu megang sendiri, hayoo” jawab saya tak mau kalah sambil meraba payudaranya.
“Jangan, Tika.. Jangan..” teriaknya keras karena kaget payudaranya saya pegang. Namun teriakannya tak membuat saya jera, bahkan telinganya yang sensitif saya cium dengan lembut.
“Kurang ajar kamu, sst..” tolaknya lemah dengan mendesis.
“Mmh..”

Pergumulan saya dengan Ana berlangsung seru, hingga beberapa menit Levana masih memberontak, tetapi karena gairahnya sudah naik dan ditambah lagi dengan ciuman dan remasan saya pada daerah sensitifnya, akhirnya Ana menyerah juga. Bahkan dengan sigap membalas mencium bibir saya dengan ganas sambil meraba vagina saya yang sudah mulai basah sejak tadi.

“Sst.. Mmh.. Tunggu..” potong saya menghentikan ciuman dan serangannya Ana.
“Hahh, ada apa Ka?”
“Buka dastermu..” pinta saya untuknya agar membuka daster, sementara saya juga telah membuka dasterku sendiri hingga bugil.
“Wah, susumu besar juga ya?” kata Levana kagum melihat payudara saya yang sudah tegak, sambil juga melepaskan dasternya, bahkan celana dalamnya pun ikut dilepaskan juga hingga kami menjadi sama-sama bugil.

Dan kami pun kembali saling berciuman di sofa tanpa mempedulikan film jepang itu. Saya mengambil inisiatif untuk memulai mencium payudaranya.

“Sst.. Sst..”
“Mmh.. gantian..” rintih Ana karena tidak dapat menahan ciuman dan jilatan lidah saya pada payudaranya.

Maka saya pun berganti posisi dengan Ana yang menjilat payudara saya dengan semangat hingga vagina saya juga ikut dibelai, bahkan jari-jarinya yang lentik keluar masuk ke dalam lubang vagina saya dengan cepat hingga saya mengalami orgasme yang pertama.

“Mmh.. Enak.. Na, cepetan.. Sst..” rintih saya karena tak tahan lagi dengan permainan Ana yang begitu hebat, bahkan Ana sekarang menjilat vagina saya dengan liar hingga beberapa menit, saya semakin mendorong vagina saya ke arah mulutnya yang sedang menghisap bagian dalam.
“Sstss.. pinggirnya.. ssts.. Ya.. yang i.. tu..” rintih saya terpatah-patah.

Tiba-tiba Levana menghentikan permainannya..

“Ada apa Na?”
“Kita coba yang seperti di film, mau khan?” usulnya.
“Boleh saja..” jawab saya senang karena memang senang dengan gaya enam sembilan.

Gaya enam sembilan itu maksudnya saya yang berada di posisi atas menghadap Levana yang berada di posisi bawah dengan saling menjilat vagina masing-masing, bahkan saking enaknya hingga kepala saya terjepit oleh Levana yang rupanya juga telah mengalami orgasme yang pertama. Kami melakukan pergumulan itu di sofa hingga dua jam dan rupanya Levana pun puas atas permainan itu.

“Hahh, lega rasanya..”
“Gimana, enak nggak?”
“Enak juga ya”
“Mau lagi nggak?”
“Mau dong kalau caranya gitu” jawab Ana manja sambil mencium bibir saya gemas.

Malam itu saya dan Levana menghabiskan permainan yang seru itu di kamar, bahkan Ana tak henti-hentinya meremas payudara saya dengan gemas, kadang-kadang saya puaskan Levana dengan alat kelamin pria plastik, tentu saja alatnya yang bisa bergetar hingga itu menambah nikmat percintaan saya dengan Ana. Beberapa ronde kami lalui hingga pagi, juga di kamar mandi.

*****

Keesokannya, seperti biasa saya sudah bersiap ke kantor dengan Levana.

“Ayo Na, udah siap belum?”
“Udah boss, ayo” gandeng Ana mesra sambil mencium bibir saya lembut.
“Hush, nanti dilihat orang lho”
“Iya ya..”

Maka sejak itu, saya dan Levana sering bercinta di rumahnya atau rumah saya, bahkan pernah beberapa kali kami bercinta di dalam mobil. Pada saat hari libur, Levana mengajak saya dan beberapa temannya ikut berdarmawisata ke pulau Bali dan Lombok. Salah satu di antaranya bernama Fifiani yang orang Malang.

“Tika, kamu ikut tour besok nggak?” tanya Levana.
“Tentu dong, yang ke Bali dan Lombok khan?” jawabku.
“Iya dong, eh.. kenalin nich, teman saya” ujar Levana memperkenalkan temannya.
“Fifiani” katanya memperkenalkan diri.
“Kartika Sari” jawab saya sambil menjabat tangannya yang kuning langsat itu.
“Ayo Na, sampai besok ya” jawab Levana menggandeng Fifiani.

Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, saya dengan beberapa teman kantor jadi berwisata ke pulau Bali dan Lombok, juga ada Fifiani dan Levana. Dari obrolan kami, saya ketahui bahwa Fifiani itu umurnya baru 23 tahun, 172 cm/53 cm, dengan payudara 34C, orangnya cukup ramah dan sopan. Levana pernah bercerita pada saya bahwa Fifiani adalah seorang lesbian sejati, sudah pernah beberapa kali pacaran, namun kandas di jalan hingga hatinya hancur lebur.

“Ana, sini bentar Na” panggil saya pada Ana.
“Ada apa Tik”
“Tukeran duduk ya, Fifiani di sini dan tas ini di tempatmu, gimana?” usulku.
“Enak saja, kapan lagi kesempatan gini datang”
“Please dong, khan kamu udah lama kenal ama Fifiani”
“Iya dech, cuman aku boleh liat dong di sebelah..” canda Ana sambil mencolek payudara saya dengan gemas.

Akhirnya dalam bis itu, saya yang mulanya duduk di belakang dengan tas besar entah siapa yang punya, dapat kesempatan duduk dengan Fifiani yang cantik. Levana tak ketinggalan duduk di sebelah dengan tas besar yang sudah saya pindahkan. Fifiani dalam perjalanan itu memakai rok jins hitam dengan kaos merah mudanya, sungguh serasi dengan bentuk tubuhnya yang proporsional.

Rupanya Fifiani atau yang biasa saya panggil dengan Fifi senang curhat dengan saya, bahkan beberapa kali matanya mengarah pada payudara dan bawah rok jins biru saya yang agak naik ke atas, mungkin celana dalam saya yang berwarna putih polos kelihatan, tapi saya cuek saja. Bahkan saya sengaja beberapa kali menyingkap rok saya hingga paha saya yang putih kelihatan dengan jelas hingga Fifi salah tingkah memperhatikan rok saya.

Malam itu kami sudah melewati kota Probolinggo, saya lihat teman-teman sudah pada tidur karena kelelahan, sementara Levana memperhatikan saya sambil mengedipkan matanya beberapa kali. Di bis wisata itu yang duduk di belakang cuma saya, Levana, seorang teman lain dan beberapa barang bawaan yang menumpuk, sementara yang lain duduk di depan, tentu saja ada yang berpasangan.

Sementara itu Fifi rupanya sudah tertidur pulas dengan kepalanya bersandar pada bahu kanan saya hingga perasaan saya jadi tak enak karena napasnya yang harum dan lembut tercium oleh saya, di samping itu posisi duduknya yang sungguh membuat dada saya berdebar-debar karena kakinya menopang pada paha saya. Dengan perlahan saya menyelimutinya hingga kami berdua tertutup oleh selimut hingga cuma tinggal kepala saja yang kelihatan. Tangan kanan Fifi saya pegang dan saya di tempatkan payudara saya. tiba-tiba Fifi membuka matanya dan menatap saya tajam.

“Eh.. Eh.. Fi.. Belum tidur ya?” tanya saya tergagap-gagap karena kaget melihatnya bangun tiba-tiba.
“Iya Mbak, belum ngantuk nich” jawabnya tersenyum ramah dan tidak melepaskan tangannya dari payudara saya, padahal saya sudah horny.
“Jangan panggil Mbak dong, panggil Tika saja ya”
“Iya dech, Tika udah punya pacar belum?” tanyanya.
“Belum, emangnya kenapa?”
“Masak, cewek secantik kamu belum punya pacar!”
“Emang belum, kamu sendiri?”
“Udah pernah sich, cuma sering putus, lebih suka sahabatan ama cewek”
“Oh gitu ya..”
“Ka, boleh nggak Fifi peluk?” pintanya.
“Boleh saja, terserah Fifi dech” gumam saya pelan karena Fifi dengan pelan meremas payudara saya dengan gemas, bahkan sudah masuk dalam BH saya dan meremasnya dengan lembut.
“Sstss.. Fi..” desisku.
“Gimana Ka?” tanya Fifi yang berusaha membuka BH saya.
“Enak Fi.. Sstss.. Saya boleh..” belum sempat Fifi menjawab, tangan saya sudah masuk ke dalam roknya dan membelai vaginanya yang masih memakai celana dalam.
“Sst.. Ka.. Ayo dong..” ajak Fifi menuntun tangan saya untuk masuk lebih dalam dan menyentuh vaginanya.

Akhirnya saya dan Fifi saling meremas payudara dan menyentuh vagina hingga Fifi duluan orgasme karena tak tahan dengan jari-jari saya yang keluar masuk vaginanya dengan cepat. Levana yang dari tadi memperhatikan saya, juga ikut-ikutan merogoh payudaranya sendiri. Belum sempat saya orgasme, bis itu sampai Denpasar, dan kami memesan kamar masing-masing untuk esok paginya kami lanjutkan dengan pesiar keliling pulau Bali.

“Gimana nich Fi, saya khan belum..”
“Tenang saja Ka, gimana kalau kita tidur berdua?” jawab Fifi santai karena tahu bahwa saya belum puas.
“Iya dech”
“Saya boleh ikut nggak, boleh ya..” rengek Levana tiba-tiba mendekati kami.
“Boleh saja, gimana Fi, Ana boleh ikut nggak!?” tanya saya pada Fifi.
“Okey, pasti tambah asyik ya” jawabnya sambil mengedipkan mata pada saya.

Jadilah saya memesan kamar bertiga dan setelah kami diberi pengarahan dari pemandu wisata agar bangun jam 08.00, maka saya langsung masuk kamar. Setibanya di kamar dan menaruh tas, saya peluk Fifi dan menghimpitnya ke tembok hingga payudara saya yang montok menempel ketat pada payudaranya.

“Udah nggak sabar nich yee..” goda Ana sambil memeluk saya juga dari belakang dan langsung mencium leher saya dengan ganas.
“Fi.. Kamu..”
“Udah ka, ayo kita terusin yang tadi” jawab Fifi sambil melumat bibir saya dengan ganas.
“Mmh..”

Fifi yang mencium saya dengan ganas itu juga tak kalah gesitnya mencoba kembali membuka BH saya yang akhirnya terlepas juga ke bawah, tangannya dengan terampil kembali meremas-remas payudara saya, di samping itu Ana berusaha melepas rok jins dan celana dalam saya hingga saya yang pertama-tama bugil duluan. Entah siapa yang memulai duluan, tahu-tahu saya sudah berada di tempat tidur dengan payudara saya yang dijilati Fifi dengan lincah, bahkan Ana pun juga sudah bugil dan sekarang sedang menjilati vagina saya dengan lahap.

“Sst.. Uuh.. Mmh..” rintih saya keras karena tak tahan diperlakukan oleh dua orang wanita cantik yang menjilati bagian sensitif saya.

Beberapa menit kemudian saya pun tak tahan dan mengalami orgasme yang pertama. Fifi juga minta ganti posisi di bawah untuk kami kerjai yang saya bagi tugas dengan Ana, saya bagian menjilat vaginanya dan Ana bagian payudara dan bibirnya. Beberapa menit permainan itu kami lanjutkan dengan cara saling berganti posisi.

“Ka.. Sstss.. Geli.. Ahh.. Ssts”
“Ssts.. Mmh.. Jilat yang itu.. Ya..” rintih Fifi yang sedang berjongkok karena vaginanya dijilat oleh Ana.
“Sstss.. Go.. Yang.. Na.. Sstss..” desis saya meminta Ana yang vaginanya sedang saya gesek-gesekkan dengan vagina saya untuk menggoyang pinggulnya lebih keras.

Permainan demi permainan kami lewati hingga akhirnya saya meminta Fifi memasang penis plastik yang bisa bergetar itu pada vaginanya. Bentuknya seperti celana dalam yang di tengahnya ada penis plastik.

“Sstss.. Pelan.. Fi.. Argh..” jerit saya karena Fifi memasukkan penis buatan itu terlalu cepat pada vagina saya.
“Mmh.. Gimana Ka, enak..?”
“Ssts.. Ya, ayo..” perintah saya setelah Fifi memasukkan penis plastik itu dan mendorongnya keluar masuk hingga saya merasa nikmat dan menjepit penis plastik itu dengan keras hingga dinding vagina saya berdenyut-denyut.
“Sstt.. Ayo.. Fi.. Lebih cepat lagi..” pintaku.
“Sstss.. Mmh.. Sstss.. Argkk..” jerit saya melengking karena cepatnya Fifi memasukkan penis plastik itu hingga saya orgasme berulang-ulang yang ditambah lagi rangsangan pada payudara saya yang dijilat dan dikulum oleh Levana sambil tangannya tak henti-hentinya juga meremas payudara Fifi. Vagina saya mengeluarkan lendir berwarna putih, sungguh banyak sekali.
“Lega rasanya, nikmat juga pake penis buatan..”
“Enak nggak rasanya Ka?” tanya Levana pada saya dengan mimik heran.
“Lho, kamu belum pernah toh An?” tanyaku.
“Belum tuch, biasanya sich cuma ama cewek saja”
“Nikmat kok rasanya, saya sering pake kalau lagi nggak ada pasangan” jawab Fifi sambil membersihkan penis plastik itu untuk kami gunakan lagi.
“Gimana An, kamu coba dech, sini biar kucobain buat kamu..” bujukku pada Levana yang kelihatan masih ingin mencoba penis buatan ini selain gaya enam sembilan favorit Levana dan saya.

Malam itu kami bertiga menguras habis energi untuk bercinta hingga ke kamar mandi, bahkan dengan senangnya saya bisa memandikan Fifi yang paling muda di antara kami bertiga.

“Pelan-pelan ya masukinnya” pinta Levana cemas.
“Tenang saja, nggak sakit kok” kata saya meyakinkan Levana yang melihat saya sudah memasang kan celana dalam berpenis itu di kemaluan saya.

Permukaan penis plastik itu ada bintik-bintiknya yang tidak beraturan dan saya juga tidak begitu mengerti apa manfaatnya, mungkin saja untuk menambah rasa nikmat jika bersentuhan dengan dinding vagina.

“Sst.. Mmh.. Sstss.. Aduh..” jerit Ana pelan karena penis itu terpeleset keluar bibir vaginanya.

Akhirnya seluruh penis plastik itu masuk ke dalam vagina Ana yang masih sempit itu, mungkin Levana masih perawan karena beberapa saat kemudian sedikit keluar darah. Memang selama saya bersahabat dengan Levana, Ana jarang bergaul dengan teman pria, kebanyakan teman wanita seperti saya dan yang lainnya. Sedangkan Fifi pergaulannya luas termasuk dengan pria hingga vagina Fifi sudah agak melebar dibandingkan dengan vagina saya dan Levana.

“Na, kamu masih perawan ya?” tanya saya serius pada Levana.
“Eh.. Iya.. Berarti kamu yang pertama melakukannya, Sayang” jawabnya mesra sambil mencium saya dengan lembut.
“Mmh..”

Saya berusaha maju mundur mengikuti aksi seperti yang di film BF, para pria memajumundurkan penisnya ke dalam vagina si wanita. Sambil memasukkan penis buatan, saya meremas-remas payudara Ana.

“Sstss.. Ter.. Us.. Sstss..”
“Sst.. Fi.. Ayo..” ajak Ana sambil mengajak Fifi untuk berciuman dengan saya.
“Sstss.. Sstss.. Mmh..”

Sambil berciuman dengan Fifi, saya memasukkan penis plastik itu keluar masuk dengan irama yang teratur hingga pantat Levana bergoyang pelan. Rupanya Ana menikmati permainan penis plastik itu hingga meminta saya agar cepat menaikkan tempo keluar masuknya penis plastik itu dalam vaginanya.

“Ayo fi, isap puting saya”
“Iya, Ka..”
“Sstss.. Mmh..” rintih saya agak keras karena Fifi bukan saja mengisap puting saya, bahkan menggigit puting saya dengan gemas hingga saya merasa nikmat dan mendorong penis plastik itu semakin cepat saja.
“Sstss.. Sstss.. Sstss.. Bagi.. An.. Sstss.. Itu..” desis Ana mengarahkan saya untuk menyodokkan penis itu pada bagian lubang vaginanya.

Permainan dengan Ana membutuhkan waktu yang lama karena ia menahan irama birahinya hingga pinggul saya pegal-pegal, kemudian setelah saya lelah, saya menyuruh Fifi untuk ganti menindih Levana dengan penis plastik itu.

“Fi, gantian ya, saya capek nich”
“Ya, ayo sini” jawab Fifi sambil memasang penis itu dan langsung memasukkannya dalam vagina Levana dan mereka pun bermain dengan bernafsu hingga Fifi melahap bibir Ana dengan ganas.

Saya pun menyelipkan tangan di antara payudara mereka dan meremas-remasnya supaya Ana cepat orgasme. Dan akhirnya Levana melepaskan ciuman Fifi dan memintanya agar lebih cepat.

“Sstss.. Sstss.. Sstss.. Ayo.. Fi.. Cepetan..”
“Saya.. Sstss.. Mau.. Keluar.. Sstss..” rintih Levana hingga Fifi semakin mendorong dengan cepat penis plastik itu hingga Ana bergerak-gerak liar dan menjepit Fifi dengan kuat.
“Sstss.. Arghh..” jerit Levana melengking karena cairan putihnya akhirnya keluar juga untuk terakhir kalinya.

*****

Pada jam empat pagi baru kami tidur bersama, tentu saja dengan keadaan bugil dan kepuasan yang tiada tara. Dan kembali tour kami lanjutkan untuk wisata ke pantai Sanur dan pantai Kuta.

Terima kasih pada Bapak Hartono atas tournya, juga sahabatku Fifi dan Levana atas pengalamannya bersama saya, kasih komentar ya atas cerita saya ini, kalau ada yang kurang, konfirmasikan saja ke email saya.

Pembaca cowok dan cewek bisa curhat atau kenalan pada saya melalui email saya atau memberikan tanggapannya mengenai kelainan saya ini, asalkan disertai foto, terutama bagi cewek-cewek baik yang seksi maupun tidak seksi hi.. hi.. hi.., pasti kubalas dengan foto bugil saya, eh maksud saya foto seksi saya dan kalau ada yang mengajak jalan bersama, saya ingin ikut dong.

Jika tanpa foto, maaf saja, saya tidak bisa membalas surat Anda. Dan buat sohib saya Fifi, Vita, Samantha, Aulia, Febri, dan Levana, salam sayang selalu dan kangen, jangan lupa ya baca cerita saya ini dan kapan nih kita mandi bareng lagi, pasti asyik deh. Sekarang saya lagi fitness untuk mengencangkan payudara lho.

Topics: Sesama Wanita | 18 Comments »
Nikmatnya ABG SMU Lainnya

By sebastian | July 17, 2008 

Masih ingat saya pembaca?, ya, saya Andi yang pernah mengirimkan cerita ‘Nikmatnya ABG SMU’ dan ‘Rental Internet Favoritku’ di 17Tahun.com ini. Saya mohon maaf kepada pembaca yang sebelumnya banyak mengirim email pada saya menanyakan tentang alamat email dan nomor HP wanita dalam cerita saya yang lalu, tidak bisa saya berikan karena mereka meminta dirahasiakan identitas pribadinya.

Khusus bagi cewek-cewek yang akan saya temani pesiar ke pulau Lombok, harap mengirimkan foto supaya saya tidak bingung mencari dan bisa menjemput anda di pelabuhan Lembar atau bandara Selaparang, atau terminal Mandalika Sweta. Tidak perlu malu dengan diri Anda, cantik atau jelek atau langsing atau gendut itu relatif, sebisa mungkin saya akan mengantar anda pesiar keliling pulau Lombok. Sesudahnya saya ucapkan terima kasih kepada pengasuh/redaksi website 17Tahun.com.

*****

Bulan November 2004 saya mendapat kiriman email dari beberapa cewek yang membaca cerita saya, yang salah satunya dari Amelia. Amelia ternyata sekota dengan saya di pulau Lombok, usianya baru 18 tahun, pelajar Sekolah Menengah Umum yang terkenal di kota saya. Amelia atau panggilannya Lia, gadis berkulit putih, tinggi 187 cm, berat 52 kg dan ukuran payudaranya saya perkirakan 34B, betul-betul anak SMU yang baru berkembang.

Awal perkenalan saya dengan Lia, kami janji bertemu di rental internet favorit saya dekat mall.

“Hallo.. Om yang namanya Andi?” tanya seorang gadis SMU pada saya.
“Iya.. Amelia ya?” tanya saya kembali padanya sambil memperhatikan wajahnya yang manis, rambut hitam lurus sebahu dan masih memakai seragam SMU-nya.
“Lagi ngapain Om?” tanyanya sambil duduk di kursi sebelah saya.
“Liat email yang masuk nich, panggil aja Andi ya” pintaku.
“Ya, panggil juga saya dengan Lia” jawabnya sambil mepet melihat ke arah monitor komputer.
“Okey, Lia bolos sekolah ya, jangan keserinngan bolos loh” nasehatku.
“Enggak kok, wong nggak ada guru, lagi ada rapat tuch”

Wangi juga bau parfumnya, mana rok abu-abunya span lagi, si boy jadi bangkit nich. Wah, kalo bisa making love sama Lia, asyik juga.. Huh dasar lagi mumet nich otak, maunya si boy saja.

“Ndi, Lia boleh tanya nggak?”
“Boleh aja, andi itu orangnya terbuka kok en’ fair, mau nanya apa?”
“Kalo tamu ceweknya Andi ngajak jalan-jalan, bayar nggak?”
“Oh itu, ya terserah ceweknya, pokoknya keliling Lombok ditanggung senang dech”
“Masalah hotel, akomodasi dan lain-lain ditanggung tamu, gitu”
“Kalo making love gimana?” tanya Lia antusias.
“Kalo making love sich, terserah tamunya, kalo suka sama Andi, ayo aja”
“Biasanya Andi selama ini dibayar berapa sich?”
“Ya, kira-kira lima ratus ribu sampai satu jutaan”
“Itu berapa hari?”
“Terserah tamunya aja mau berapa hari, okey, puas?”
“Mmh..” guman Lia seperti ingin menanyakan sesuatu tapi ragu-ragu.
“Kalo Lia udah pernah dicium belum atau udah pernah making love?” tanyaku.
“Ih, si Om nanyanya gitu”
“Ah, nggak usah malu sama Andi, ceritain aja”
“Belum sich Ndi, cuma kalo nonton BF sering”
“Jangan ditonton aja, praktek dong sama pacar” tantang saya sambil menepuk pundaknya.
“Pacarnya Lia itu agak aneh kok”
“Gimana kalo praktek sama Andi, ditanggung senang dan tidak bakalan hamil”
“Hush, jangan aneh-aneh Ndi, Lia udah punya pacar lho”
“Nggak aneh kok, kalo praktek pacar-pacaran” rayu saya, sepertinnya ada peluang nich. Saya harus merayunya supaya Lia tidak ragu-ragu lagi.
“Iya sich, tapi..” jawabnya ragu-ragu.

Setelah selesai membalas email yang masuk, saya berencana mengajak Lia ke pantai Senggigi, siapa tahu ada kesempatan, ya nggak pembaca. Ternyata Lia itu tinggal bersama ibunya yang masih berusia 47 tahun dan suaminya tugas keluar pulau selama beberapa bulan.

“Mau nggak ke pantai jalan-jalan, tadi Lia naik apa?”
“Naik mobil, pake mobil Lia aja” ajaknya bersemangat sambil menggandeng tangan saya seperti Om dan keponakannya.

Ternyata mobilnya memakai kaca rayban gelap dan ber-AC lagi, jadi siang itu kami meluncur ke pantai senggigi dan sebelumnya kami membeli beberapa camilan dan saya juga membeli kondom, biasa.. he.. he..

Lia menjalankan mobil dengan santai, tapi saya jadi tegang terutama si boy dan bukan mobilnya yang jalan santai yang membuat saya tegang, rok abu-abunya itu lho. Sudah span, pas duduk dalam mobil otomatis bertambah pendek saja hingga memperlihatkan setengah bagian pahanya yang putih mulus dan masih kencang.

“Eh, Ndi kok bengong, ngelamun jorok ya?”
“Eh.. Eh.. Nggak juga” jawab saya tergagap-gagap.
“Terus kenapa liatin pahanya Lia terus”
“Badanmu itu bagus kok, rajin fitnes ya?”
“Pasti, supaya badan Lia tetap fit dan seksi. Gimana, seksi nggak?” tanyanya tersenyum.
“Seksi bo! Eh Lia parkir aja yang di pojok tuch” tunjukku pada sebuah pojokan, agak menjauh dari jalan raya dan terlindungi oleh pepohonan, asyik nih siapa tahu bisa indehoy.
“Bagus juga tuch tempatnya” jawab Lia setuju sambil memarkirkan mobilnya hingga pas dengan lebatnya pepohonan, yang kalau dari jalan raya tidak kelihatan dan juga tempatnya sepi, jauh dari pemukiman dan lalu lalang orang, paling-paling orang yang berjalan di pantai, itupun agak samar-samar.

Mudah-mudahan pembaca tidak bingung membayangkan ilustrasi tempat yang saya ceritakan. Setelah Lia parkir, kami saling curhat tentang masalah pribadi Lia yang belum pernah making love dan ibunya yang sering kesepian ditinggal suaminya pergi.

“Ngomongnya nggak enak ya kalo kita berjauhan begini”
“Maksud Andi..”
“Lia duduk aja dekat Andi”
“Tapi kursi itu kan cuma satu”
“Ayo dong Lia, duduk sini kupangku” rayu saya sambil menarik tangan kanannya.
“Malu ah, dilihat orang” jawabnya ragu-ragu sambil melihat ke arah pantai.
“Berarti kalau nggak ada orang nggak malu dong” ujarku sambil menarik tangannya agar mendekat pada saya.
“Ya.. Nggak gitu” jawabnya ragu-ragu.
“Saya udah jinak kok apalagi si boy ini paling jinak” goda saya lagi sambil menunjuk kontol saya yang sudah agak menggembung.
“Ih jorok ih” jawabnya tertawa pelan.
“Mau nggak?”
“Emm.. Bagaimana ya”
“Mau dech..” dan akhirnya dengan paksaan sedikit dan si Lia yang ragu-ragu untuk duduk, saya berhasil menariknya bahkan Lia duduk dengan sedikit ragu.

Saya pangku Lia sambil melihat kembali ke arah pantai. Posisi Lia yang saya pangku menyamping hingga kalau melihat ke pantai agak menoleh sedikit. Posisi itu sungguh enak dan kelihatan si Lia juga menikmatinya, kelihatan dari tangan kanannya yang melingkar pada bahu saya.

“Oh ya, Andi mau nanya hal pribadi, boleh nggak?”
“Boleh aja, Lia itu orangnya terbuka kok” jawabnya sambil menggeser pantatnya supaya tidak terlalu merosot. Wah si boy saya jadi berdiri gara-gara si Lia memperbaiki posisi duduknya hingga pantatnya yang semok semakin mepet sama si boy. Coba pembaca bayangkan seperti posisi saya saat ditemani cewek SMU berumur 18 tahun yang bongsor dan seksi, pasti si boy mau berontak keluar, so pasti coy.

“Lia pernah nggak making love?”
“Mmh.. Gimana ya” jawab Lia ragu-ragu sambil menggigit jari kelingking tangan kirinya.
“Ceritain dong..” bujuk saya sambil mengelus pahanya yang masih terbungkus rok abu-abunya yang mini.

Lumayanlah sebagai permulaan pemanasan, ini kesempatan kalau Lia mau making love sama saya dan kalau tidak mau paling ditolak atau ditampar atau ditinggalkan, tapi dari perasaan saya sih, sepertinya mau.

“Pernah sih sama pacar, tapi itu dulu sebelum putus”
“Kok putus, kenapa emangnya?” tanyaku sambil tangan kiri saya memegang pinggangnya yang langsing.
“Sebetulnya Lia sayang sama dia, kalau cuma making love sich tidak apa-apa”
“Yang penting pake kondom supaya aman”
“Terus apa masalahnya?”
“Ya itu, making lovenya agak aneh, masak Lia diikat dulu”
“Wah, itu sich namanya ada kelainan namanya, harusnya dengan lembut”
“Oh ya, Andi kalau making love sama tamunya secara lembut ya”
“Tentu saja, maka banyak cewek yang senang dengan cara yang romantis dan lembut”
“Asyik dong”
“Mau nyobain nggak?” tantang saya sambil mengelus tangan kirinya yang ternyata sangat halus.
“Wuhh.. Maunya tuch” jawab Lia mencibirkan bibirnya yang seksi.
“Pegang aja boleh nggak ya?” tanya saya mengiba dan tangan kanan saya mulai mengelus-ngelus pahanya yang masih terbungkus seragam sekolahnya dengan lembut.
“Emh.. Gimana ya.. Dikit aja ya” jawab Lia mengejutkan saya yang tadinya cuma bercanda, eh tidak tahunya dapat durian runtuh.
“Lia, mau bagian mana dulu?” goda saya sambil mengelus punggungnya yang halus.
“Ih genit ah..” candanya manja.

Saya naikkan tangan kanan saya mencoba menjamah payudara kirinya yang masih terbungkus seragam sekolahnya dan kelihatannya tidak ada penolakan dari Lia. Dengan perlahan lehernya saya cium perlahan dan jamahan tangan saya berubah menjadi remasan supaya membangkitkan gairahnya. Ternyata Lia adalah tipe cewek yang libidonya cepat naik.

“Geli.. Ndi..” rintihnya pelan, tangan kirinya membantu tangan kanan saya untuk lebih aktif meremas payudara kiri dan kanannya secara bergantian. Lehernya yang putih saya cium dan jilat semakin cepat.
“Sst.. pe.. lan.. Ndi..”

Setelah beberapa menit, tiba-tiba Lia menurunkan tangan saya dan tangannya dengan terampil melepas tiga kancing atas bajunya serta mengarahkan tangan saya masuk ke dalam baju seragam SMU-nya dan tangan kirinya mengusap pipi saya. Tangan kananku yang sudah separuh masuk baju seragamnya langsung masuk juga dalam BH-nya yang ternyata berwarna putih polos. Gundukan payudaranya ternyata sudah keras dan tanpa menunggu aba-aba saya remas payudaranya dengan perlahan, kadang-kadang saya pelintir puting susunya.

“Ndi.. Sst.. Mmh.. Yang ki.. ri.. sst..” rintihnya pelan takut kedengaran.
“Lia, boleh nggak saya ci..” belum sempat habis pertanyaan saya, Lia sudah mencium saya dengan lembut yang kemudian saya balas ciumannya.

Semakin lama lidah saya mencari lidah Lia dan kami pun berciuman dengan mesra, bahkan saling menjilat bibir masing-masing. Sambil berciuman, kancing baju atas seragam Lia yang tersisa itu pun langsung saya lepas hingga tampaklah payudaranya dengan jelas. Kembali saya cium payudaranya. Selama beberapa menit berciuman, kuluman dan hisapan pada putingnya membikin Lia bertambah merintih dan mendesis, untung saja pada saat itu masih sepi dan bukan hari libur atau hari minggu.

“Mmh.. gan.. ti.. sst.. kiri.. sstt..” rintih Lia memberi aba-aba sambil tangan meraih kepala saya dan menggeser serta menekan pada payudaranya.
“Ter.. Us.. Sst.. Ndi..”

Tangan kanan saya yang sedang berada di pusarnya turun merayap masuk ke dalam rok abu-abunya dan mengelus vaginanya yang masih terbungkus CD searah jarum jam.

“Sst.. Terus.. Ndi” rintih Lia yang ikut membantu menyingkapkan rok abu-abu SMU-nya ke atas hingga pantatnya yang putih menyentuh paha saya yang masih terbungkus celana jins.

Setelah beberapa saat, saya masukkan tangan kanan ke dalam CD putihnya yang ternyata ditumbuhi bulu halus yang terawat rapi dan saya usap beberapa menit.

“Sst.. Ndi.. Ge.. Li.. Mmh..” gumam Lia pelan sambil matanya menatap setengah sayu. Gerakan jari tangan saya keluar masukkan ke dalam vaginanya yang mulai basah.
“Mmh.. Sst.. Enak.. Ndi.. Te.. Rus.. Agak cepe.. tan.. Sst”
“Sst.. Ya.. Nah.. Sst.. Gitu” rintih Lia yang kelihatan mulai terangsang hebat.

Tangan kiri saya yang tadinya hanya mengusap-usap pinggangnya jadi aktif mengusap payudara kirinya dan saya percepat permainan tangan pada vaginanya dan tiba-tiba saja Lia menjepit tangan saya dan disusul keluarnya cairan putih, berarti Lia telah orgasme yang pertama.

“Mmh.. Nikmat juga ya rasanya Ndi” gumam Lia sambil memandangku sayu.
“Mau nggak ngerasain si boy?” bujuk saya melihat Lia yang sedang terangsang berat.
“Mmh..” gumannya pelan, agak ragu Lia menjawab tapi akhirnya Lia pindah ke belakang mobil, wah tambah asyik nich.

Saya juga berpindah ke belakang mobil sambil melepas celana jins serta CD saya hingga bagian bawah saya bugil dan atasnya masih memakai kaos, untuk berjaga-jaga siapa tahu ada orang lewat.

“Ndi.. Pelan aja” guman Lia pelan sambil melepas CD putihnya hingga Lia sekarang bagian bawah atasnya juga bugil cuma memakai baju seragam SMU-nya tanpa BH.
“Ya, Sayang, kupakai kondom dulu ya supaya aman” jawab saya sambil mengambil posisi duduk menghadap ke depan dan mengarahkan Lia dalam posisi saya pangku serta menghadap saya. Pantatnya yang semok saya pegang dengan kedua tangan dan memberi arahan pada Lia.
“Pegangin si boy, ya tangan kanan” pinta saya pada Lia yang memegang kontolku dan mengarahkan ke vaginanya yang masih sempit.
“Nanti Lia dorong ke bawah ya, kalau udah pas kontolnya”
“Aduh.. Sakit..” rintih Lia karena kontol saya meleset pada bibir vaginanya.

Kembali saya arahkan kontol pada lubang vaginanya, pada usaha keempat, bless akhirnya masuk kepala dulu.

“Sst.. Pe.. Lan.. Ndi..” Rintih Lia sambil memegang tangan kiri saya dengan tangan kanannya dan mengigit bibir bawahnya dengan pelan.
“Pertamanya sakit kok, tapi agak lama juga enak” rayu saya sambil mendorong pinggulnya ke bawah hingga lama kelamaan, bless..
“Akhh..” jerit Lia lirih karena kontol saya semuanya masuk dalam vaginanya.
“Gimana rasanya?”
“Sakit sich, tapi.. Geli..” gumam Lia mencium saya dengan lembut. Dengan perlahan saya sodok vaginanya naik turun hingga Lia mendesis lirih.
“Sst.. Agak.. ee.. tengah.. sst..” rintih Lia lirih sambil menggoyangkan pinggulnya hingga sodokan dan goyangan itu menimbulkan bunyi clop.. clop.. clop.., begitu kira-kira.

Semakin lama sodokan saya percepat disertai dengan goyangan Lia yang makin liar hingga tangan saya kewalahan menahan posisi vaginanya agar pas pada kontol saya yang keluar masuk makin cepat. Bahkan payudaranya bergoyang-goyang ke atas ke bawah, kadang membentur muka saya, sungguh nikmat sekali pembaca sekalian.

“Barengan ya keluarnya ya.. Mmh..” perintah saya pada Lia karena sepertinya lahar putih saya sudah sampai puncaknya, jadi saya berusaha bertahan beberapa menit lagi.
“Mmhm.. Sst.. Ya.. Ndi..”
“Ce.. Petan.. Sst.. Ndi..” rintih Lia sambil memeluk dan menjepit saya dengan keras. Rupanya Lia sudah mencapai puncaknya dengan goyangannya yang makin keras.
“Ssrtss.. Seka.. Rang.. Sst.. Akhkk..” jerit Lia karena keluarnya cairan putih itu yang berbarengan dengan bobolnya pertahanan saya, secara bersaman kami saling memeluk menikmati sensasi yang luar biasa itu.

Beberapa saat kami masih berpelukan disertai tetesan keringat membasahi badan padahal mobil masih menjalankan AC-nya hampir full.

“Gimana rasanya, puas nggak” tanya saya sambil mencium bibirnya yang indah itu.
“Ternyata enak juga making love sama Om Andi”
“Lain sama pacarnya Lia, agak kasar sich” celotehnya sambil melepaskan pelukan saya dan memakai kembali CD dan BH-nya yang berwarna putih itu, setelah Lia kembali memakai seragam sekolahnya dan tentu saya juga, jam telah menunjukkan pukul 11.45 siang.
“Sebagai tanda terima kasih, gimana kalau Om Andi kutraktir”
“Boleh saja, sekarang kita kemana?” tanya saya melihat Lia menjalankan mobilnya menuju kota.
“Pulang dong” jawabnya manja.
“Lho, terus saya ngapain”
“Nanti kukenalin sama mamanya Lia dan adiknya Lia, mau nggak Om?”
“Okey..”

Ternyata Lia tinggal di perumahan mewah, pantas bawanya mobil. Tampak seorang wanita yang anggun dan cantik berusia kurang lebih 47 tahun sedang membaca sebuah majalah. Tapi yang menarik perhatian saya, baju longdress yang dikenakannya dengan belahan atas yang rendah hingga memperlihatkan payudaranya yang berwarna putih itu, mungkin lebih besar daripada punya Lia, tingginya kira-kira 163 cm/50 kg.

“Selamat siang Bu” sapa saya sopan.
“Selamat siang Pak” jawabnya ramah sambil bersalaman dengan saya.
“Ini Ma, guru privat matematika Lia yang baru, rencananya sich abis makan siang kita belajar”
“Oh ini to, yang namanya Pak Andi yang sering diceritain Lia”
“E.. Eh.. Ya..” jawab saya tergagap-gagap karena begitu lihainya Lia memperkenalkan saya sebagai guru privatnya, pelajaran matematika lagi, aduh.. gawat padahal saya tidak bisa apa-apa.

Setelah berbicara dengan ibunya mengenai les dan biaya tetek bengek lainnya, disepakati bahwa les privat cuma bisa saya lakukan dua minggu, itu pun harinya selang seling. Siang itu saya makan bersama Lia setelah ditinggal ibunya pergi keluar dan baru pulang sore hari. Lia sudah berganti pakaian dengan celana pendek dan kaos ketat khas ABG.

“Gila kamu Lia, nanti kalau ketahuan ibumu gimana?”
“Tenang aja Om, mama itu jarang kok nyampurin urusan Lia”
“Oh, gitu”
“Katanya Om mau ngajarin Lia” goda Lia penuh arti sambil mengerling nakal. Ini baru namanya surga dunia, setelah puas makan kami mengobrol sambil menonton film DVD yang dibawa Lia.

Selama dua minggu itu sebelum Lia akhirnya pindah ke Jakarta, kami sering making love tanpa sepengetahuan mamanya, pokoknya hampir tiap bertemu dengan berbagai posisi, yang sering di mobil, kamar tidur, kamar mandi, bahkan di suatu acara ulang tahun mamanya, saya diundang.

“Gimana Ndi, ramai nggak ulang tahun mama saya?”
“Wah, ramai sekali, pasti papamu pejabat ya?”
“Ah enggak kok, Papa itu pengusaha”
“Oh gitu” jawab saya sambil memperhatikan Lia yang malam itu memakai gaun yang sungguh indah, apalagi belahan atas gaunnya sungguh rendah hingga memperlihatkan payudaranya yang putih itu, mungkin tidak pake BH, gaunnya yang berwarna hijau cuma sebatas di atas lutut. Bahkan kalau Lia duduk dan saya perhatikan gaun bawahnya, mungkin dengan sengaja Lia membuka gaun bawahnya hingga memperlihatkan CD-nya yang berwarna merah muda itu. Wow, sungguh membuat si boy berontak, tapi saya pura-pura cool saja.

“Ndi, Lia lagi pengin nich, gimana?” tanya Lia tiba-tiba sambil mendekat pada saya.
“Kita cari ruangan yuk” ajak saya yang kebetulan tadi melihat ruangan dekat taman sedang kosong.
“Lho kok ke sini, apa tidak ke kamar?” tanya Lia heran.
“Bosan ah di kamar, cari variasi lain, mau nggak?”
“Ayo, cepetan waktunya mepet nich” gandeng Lia terburu-buru.
“Lia, kamu malam ini can..” belum sempat saya berkata romantis sudah dipotong Lia dengan ciumannya yang melumat bibir saya dengan ganas, kami pun berciuman dengan alot sambil tangan saya masuk ke belahan gaunnya dan meremas payudaranya dengan gemas.
“Mmh..” gumam Lia karena bibirnya sudah menyatu dengan bibir saya sambil tangannya membuka resleting celana panjang saya dan meremas-remas kontol saya yang sudah berdiri sejak tadi.

Beberapa menit kami saling melakukan ciuman dan remasan hingga akhirnya Lia mendorong saya perlahan.

“Ayo Ndi, buka celanamu” perintah Lia sambil melepas CD saya dan Lia mengambil posisi berjongkok untuk menghisap kontolku dengan sedotan yang agak keras.
“Pe.. Lan.. Aja..” pinta saya pada Lia karena kerasnya hisapan Lia hingga semua kontol saya masuk pada mulutnya. Beberapa menit telah berlalu dan saya sungguh tidak tahan dengan posisi tersebut.
“Gantian dong..” pinta saya pada Lia sambil saya berjongkok dan membuka CD merah mudanya serta menghisap vaginanya dan mencari biji kacangnya, menghisap dan menjilat sampai dalam vaginanya hingga semakin banyak cairan yang keluar dan Lia semakin merintih-rintih dalam posisi berdiri.
“Sst.. Isep.. Yang keras.. Ndi.. Sst..”
“Udah Ndi.. Sst.. Ayo..” rintihan dan celotehan Lia meminta saya untuk memasukkan si boy ke dalam vaginanya.

Kami sekarang berdiri tapi Lia menghadap ke tembok, saya singkap gaunnya dari belakang, dengan dibantu Lia saya berusaha menyodokkan kontol saya dari belakang pantatnya. Akhirnya masuk semua kontol saya dalam vaginanya, sodokan demi sodokan dengan cepat membuat Lia merintih meminta saya segera mengakhiri permainan itu, beberapa puluh menit kemudian..

“Sst.. Ayo.. Ndi.. Sst.. Keluarin..”
“Lia udah pegel nich sst..” rintih Lia lirih karena kami jarang melakukannya dalam posisi berdiri.
“Sst.. Aduh.. Akhkk..” Dan akhirnya croott.. croot.. Keluarlah lahar putih itu bersamaan dengan jeritan Lia.

Itulah malam terakhir kami sebelum Amelia dan mamanya pindah ke Jakarta mengikuti tugas papanya yang saya dengar dipromosikan jadi general manager di sana. Selamat jalan Lia, sampai ketemu lagi lain waktu, dan kalau kamu membaca cerita ini, jangan lupa ya kasih komentarmu bagian mana yang kurang.

*****

Bagi para cewek atau ibu-ibu yang ingin jalan-jalan ke pulau Lombok bisa menghubungi saya lewat email, dijamin pasti puas, bahkan bisa curhat. Khusus untuk cewek-cewek yang tinggal di pulau Lombok bisa langsung berkenalan dengan saya. Saya biasa merental internet di belakang mall Cilinaya sekitar hari Senin pagi jam 08.45 atau sore jam 17.30, biasa duduk di pojok nomor 9 atau nomor 2. Yang bernama Andi dan bisa membuka email pribadiku, itu pasti Andi asli, kalau tidak bisa berarti bukan Andi yang asli alias penipu. Hati-hati terhadap terhadap penipuan, seperti iklan di TV ya.. He.. He.. He..

Topics: Daun Muda | 16 Comments »
Profesi dan Kehormatan

By sebastian | July 17, 2008 

Aku tersentak bangun saat kudengar jam wekerku berdering dengan nyaring.

“Uhh.. Jam berapa ini..!” gumamku pelan sambil berusaha membuka mataku, aku masih malas dan ingin kembali tidur, tapi tiba tiba aku teringat bahwa hari ini aku harus buru-buru berkemas dan berangkat, kalau tidak, aku akan ketinggalan pesawat.

Hari ini aku akan pergi ke luar kota, bank swasta tempatku bekerja menugaskanku untuk mengikuti beberapa program pendidikan di kantor cabang salah satu kota di daerah Jawa Tengah.

Namaku Melinda tapi teman-teman biasa memanggilku Linda. Aku dilahirkan dari keluarga yang serba berkecukupan dan aku hanya mempunyai satu saudara kandung laki-laki, praktis semua permintaan dan kebutuhanku selalu dipenuhi oleh kedua orang tuaku. Aku benar benar sangat di manja oleh mereka. Ayahku berasal dari negeri Belanda, sedangkan ibuku berasal dari Menado, aku bersyukur karena seperti gadis peranakan pada umumnya, aku pun tumbuh menjadi gadis yang berwajah cukup cantik.

Saat ini usiaku 24 tahun, wajahku cantik dan kulitku putih mulus, rambutku lurus dan panjang sampai di bawah bahu, tubuhku pun termasuk tinggi dan langsing dipadu dengan ukuran buah dada yang termasuk besar untuk ukuran gadis seusiaku, ditambah lagi, aku sangat rajin merawat tubuhku sendiri supaya penampilanku dapat terus terjaga.

“Wah.. Aku belum sempat potong rambut nih..” gumamku sambil terus mematut diri di depan cermin sambil mengenakan pakaianku. Hari ini aku memakai setelan rok coklat tua dan kemeja putih berkerah, lalu aku padukan dengan blazer coklat muda. Aku merasa tampil makin cantik dengan pakaian kesayanganku ini, membuat aku tambah percaya diri.

Singkat cerita, aku telah sampai di kota tempatku akan bekerja. Aku langsung menuju kantor cabangku karena aku harus segera melapor dan menyelesaikan pekerjaan.

Sesampai di depan kantor suasananya terlihat sangat sepi, di lobby kantor hanya terlihat dua orang satpam yang sedang bertugas, mereka mengatakan bahwa seluruh karyawan sedang ada pelatihan di gedung sebelah. Dan mereka juga berkata bahwa aku sudah ditunggu oleh Pak Bobby di ruangannya di lantai dua, Pak Bobby adalah pimpinan kantor cabang di kota ini.

“Selamat siang..! Kamu Melinda kan..?” sambut Pak Bobby ramah sambil mempersilakan aku duduk.
“Iya Pak.. Tapi saya biasa di panggil Linda..” jawabku sopan.

Pak Bobby kemudian mengajukan beberapa pertanyaan kepadaku, sambil sesekali menanyakan keadaan para pegawai di kantor pusat. Cukup lama juga aku berbicara dengan Pak Bobby, hampir lima belas menit, padahal sebenarnya, aku harus ke gedung sebelah untuk mengikuti diklat, tapi Pak Bobby terus saja menahanku dengan mengajakku berbicara.

Sebenarnya aku sedikit risih dengan cara Pak Bobby memandangku, mulutnya memang mengajukan pertanyaan kepadaku, tapi matanya terus memandangi tubuhku, tatapannya seperti hendak menelanjangiku. Dia memperhatikanku mulai dari ujung kaki sampai ujung kepala, sesekali pandangannya tertumpu di sekitar paha dan buah dadaku. Aku agak menyesal karena hari ini aku mengenakan rok yang agak pendek, sehingga pahaku yang putih jadi sulit untuk kusembunyikan. Dasar mata keranjang, sungutku dalam hati. Baru tak berapa lama kemudian pembicaraan kami pun selesai dan Pak Bobby beranjak ke arah pintu mempersilakanku untuk mengikuti diklat di gedung sebelah.

“Terima kasih Pak.. Saya permisi dulu..” jawabku sambil beranjak ke arah pintu.

Perasaanku langsung lega karena dari tadi aku sudah sangat risih dengan pandangan mata Pak Bobby yang seperti hendak menelanku bulat bulat. Pak Bobby membukakan pintu untukku, aku pun berterima kasih sambil berjalan melewati pintu tersebut.

Tapi aku kaget bukan kepalang saat tiba tiba rambutku dijambak dan ditarik oleh Pak Bobby, sehingga aku kembali tertarik masuk ke ruangan itu, lalu Pak Bobby mendorongku dengan keras sehingga aku jatuh terjerembab di atas sofa tempat tadi aku duduk dan berbicara dengan Pak Bobby.

“Apa yang Bapak lakukan..?? Mau apa Bapak..?” jeritku setengah bergetar sambil memegangi kepalaku yang sakit akibat rambutku dijambak seperti itu.

Pak Bobby tidak menjawab, dia malah mendekatiku setelah sebelumnya menutup pintu ruangannya. Sedetik kemudian dia telah menyergap, mendekap dan menggumuliku, nafasnya mendengus menghembus di sekitar wajahku saat Pak Bobby berusaha menciumi bibirku

“Jangan.. Jangann..! Lepasskan.. Ssaya..!” jeritku sambil memalingkan wajahku menghindari terkaman mulutnya.
“Diam..!!” bentaknya mengancam sambil mempererat pelukannya pada tubuhku.

Aku terus meronta sambil memukulkan kedua tanganku ke atas pundaknya, berusaha melepaskan diri dari dekapannya, tapi Pak Bobby terus menghimpitku dengan erat, nafasku sampai tersengal sengal karena terdesak oleh tubuhnya. Bahkan sekarang Pak Bobby telah mengangkat tubuhku, dia menggendongku sambil tetap mendekap pinggangku, lalu dia menjatuhkan dirinya dan tubuhku di atas sofa dengan posisi aku ada di bagian bawah, sehingga kini tubuhku tertindih oleh tubuhnya.

Aku terus menjerit dan meronta, berusaha keluar dari dekapannya, lalu pada satu kesempatan aku berhasil menendang perutnya dengan lututku hingga membuat tubuhnya terjajar ke belakang. Dia terhenyak sambil memegangi perutnya, kupergunakan kesempatan itu untuk berlari ke arah pintu. Aku hampir sampai di pintu keluar saat tubuhku kembali tertarik ke belakang, rupanya Pak Bobby berhasil menggapai blazerku dan menariknya hingga terlepas dari tubuhku, sesaat kemudian aku sudah berada di dalam dekapannya kembali.

“Bajingann..! Lepaskan saya..!” jeritku sambil memakinya.

Tenagaku sudah mulai habis dan suaraku pun sudah mulai parau, Pak Bobby masih terus memelukku dari belakang sambil mulutnya berusaha menciumi leher dan tengkukku, sementara tangannya menelikung kedua tanganku, membuat tanganku terhimpit dan tidak dapat bergerak.

“Jangann..! Biadab.. Lepaskan sayaa..!” aku kembali menjerit parau.

Air mataku sudah meleleh membasahi pipiku, saat tangan Pak Bobby membetot keras kemeja putihku, membuat seluruh kancingnya terlepas dan berjatuhan di atas lantai. Sekarang tubuh bagian atasku menjadi setengah terbuka, mata Pak Bobby semakin melotot melihat buah dadaku yang masih terlindung di balik bra hitamku, setelah itu, dia menarik kemeja yang masih menempel di bahuku, dan terus menariknya sampai menuruni lenganku, sampai akhirnya Pak Bobby menggerakkan tangannya, melemparkan kemeja putihku yang telah terlepas dari tubuhku.

“Lepasskann..!!” jeritku saat satu tangannya mulai bergerak meremasi sebelah payudaraku.

Tubuhku mengelinjang hebat menahan ngilu di buah dadaku, tapi dia tidak berhenti, tangannya malah semakin keras meremas buah dadaku. Seluruh tubuhku bergetar keras saat Pak Bobby menyusupkan tangannya ke balik bra hitamku dan mulai kembali meremas payudaraku dengan kasar, sambil sesekali menjepit dan mempermainkan puting buah dadaku dengan jarinya, sementara mulutnya terus menjilati leherku dengan buas.

Pak Bobby sudah akan menarik lepas bra yang kukenakan, saat pada saat yang bersamaan pintu depan ruangannya terbuka, dan muncul seorang laki laki dengan wajah yang tampak kaget.

“Ada apa nih Pak Bobby..?” serunya, sambil memandangi tubuhku.
“Lepaskan saya.. Pak..! Tolong saya..! Pak Bobby akan memperkosa saya..!” jeritku memohon pertolongan dari orang itu.

Perasaanku sedikit lega saat laki-laki itu muncul, aku berharap dia akan menolongku. Tapi perkiraanku ternyata salah..

“Wah Pak.. Ada barang baru lagi nih. Cantik juga..!” seru laki-laki itu sambil berjalan mendekati kami, aku langsung lemas mendengar kata-katanya, ternyata laki laki ini sama bejatnya dengan Pak Bobby.
“Ada pesta kecil..! Cepat Han.!! Lu pegangi dia..! Cewek ini binal banget” jawab Pak Bobby sambil tetap mendekap tubuhku yang masih terus berusaha meronta.

Sedetik kemudian laki-laki itu sudah berada di depanku, tangannya langsung menggapai dan merengkuh pinggangku merapatkan tubuhnya dengan tubuhku, aku benar-benar tidak dapat bergerak, terhimpit oleh laki-laki itu dan Pak Bobby yang berada di belakangku, lalu tangannya bergerak ke arah bra-ku, dan dengan sekali sentak, dia berhasil merenggut bra itu dari tubuhku.

“Tidak.. Tidak..! Jangan lakukan..!!” jeritku panik.

Tangisku meledak, aku begitu ketakutan dan putus asa hingga seluruh bulu kudukku merinding, dan aku semakin gemetar ketakutan saat laki-laki yang ternyata bernama Burhan itu melangkah ke belakang, sedikit menjauhiku, dia diam sambil memandangi buah dadaku yang telah terbuka, pandangannya seperti hendak melahap habis payudaraku.

“Sempurna..! Besar dan padat..” gumamnya sambil terus memandangi kedua buah dadaku yang menggantung bebas.

Setelah itu dia kembali beranjak mendekatiku, mendongakkan kepalaku dan melumat bibirku, sementara tangannya langsung mencengkeram buah dadaku dan meremasnya dengan kasar. Suara tangisanku langsung terhenti saat mulutnya menciumi bibirku, kurasakan lidahnya menjulur di dalam mulutku, berusaha menggapai lidahku. Aku tercekat saat tangannya bergerak ke arah selangkanganku, menyusup ke balik rokku, aku langsung tersentak kaget saat tangannya merengkuh vaginaku. Kukumpulkan sisa-sisa tenagaku lalu dengan sekuat tenaga kudorong tubuh Pak Burhan.

“Tidak.! Tidak..! Lepaskan saya.. Bajingan kalian..!” aku menjerit sambil menendang-nendangkan kakiku berusaha menjauhkan laki-laki itu dari tubuhku.
“Ouh.. Ssakit..!!” keluhku saat Pak Bobby yang berada di belakangku kembali mendekapku dengan lebih erat. Kutengadahkan kepalaku, kutatap wajah Pak Bobby, aku memohon supaya dia melepaskanku.
“Tolonngg.. Hentikann Pak..!! Saya.. Mohon.. Lepaskan saya..” ucapku mengharap belas kasihannya.

Keadaanku saat itu sudah benar-benar berantakan, tubuh bagian atasku sudah benar-benar telanjang, membuat kedua payudaraku terlihat menggantung dan tidak lagi tertutup oleh apapun. Aku sangat takut, mereka akan lebih bernafsu lagi melihat keadaan tubuhku yang sudah setengah telanjang ini, apalagi saat ini tubuhku sedang ditelikung oleh Pak Bobby dari belakang hingga posisi itu membuat dadaku jadi terdorong ke depan dan otomatis buah dadaku pun ikut membusung.

Beberapa saat kemudian Pak Bobby tiba tiba mengendorkan dekapannya pada tubuhku dan akhirnya dia melepaskanku. Aku hampir tidak percaya bahwa Pak Bobby mau melepaskanku, padahal saat itu aku sudah sangat putus asa, aku sadar aku hampir tidak mungkin lolos dari desakan kedua laki-laki tersebut.

Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu, aku langsung berlari secepatnya ke arah pintu, tapi lagi-lagi aku kalah cepat, Pak Burhan sudah menghadang di depanku dan langsung menghunjamkan pukulannya ke arah perutku.

“Arghh..!! Sshh.. Ouhh..” aku mengeluh kesakitan.

Kupegangi perutku, seketika itu juga, aku langsung jatuh terduduk, nafasku tersengal-sengal menahan sakit yang tak terkira. Belum hilang rasa sakitku, mereka berdua langsung menyerbu ke arahku.

“Pegangi tangannya Han..!!” seru Pak Bobby sambil mendorong tubuhku sehingga aku jatuh terjengkang di atas lantai.

Seketika itu juga Pak Burhan sudah berada di atas kepalaku dan mencengkeram kedua tanganku, sementara Pak Bobby berada di bawah tubuhku, mendekap kedua kakiku yang berusaha menendangnya. Dia sudah seperti kemasukan setan, melepasi sepatu hak tinggiku, merobek stockingku dan mencabik cabik rok yang kukenakan dan akhirnya dia merenggut dengan paksa celana dalamku, melolosinya dari kedua kakiku dan melemparkannya ke lantai.

“Lepasskann..! Lepasskan..! Tolongg.. Jangan perkosa sayaa..!” jeritanku makin keras di sela-sela keputusasaan.

Aku sudah tidak sanggup lagi menahan mereka yang sepertinya semakin bernafsu untuk memperkosaku, air mataku makin deras mengalir membasahi kedua pipiku, kupejamkan mataku, bulu kudukku langsung bergidik, aku tidak sanggup membayangkan kalau hari ini aku akan diperkosa oleh mereka.

“Jangann.. Ahh.. Tolongg..!” aku menjerit histeris saat Pak Bobby melepaskan pegangannya pada kedua kakiku.

Dia berdiri sambil melepaskan pakaiannya sendiri dengan sangat terburu-buru. Aku sadar, laki-laki ini sebentar lagi akan menggagahiku. Seketika itu juga kurapatkan kedua kakiku dan kutarik ke atas hingga menutupi sebagian dadaku, sementara kedua tanganku masih tetap di dekap erat oleh Pak Burhan. Tiba tiba Pak Bobby berjongkok, dia langsung menarik kedua kakiku, merenggangkannya dan kemudian memposisikan tubuhnya di antara kedua pangkal pahaku.

“Jangann..!!” keluhku lemah dan putus asa, sambil bertahan untuk tetap merapatkan kedua kakiku, tapi tenaga Pak Bobby jauh lebih kuat di bandingkan dengan tenagaku.

Aku terhenyak saat Pak Bobby mulai menindihku, membuatku jadi sesak dan sulit untuk bernafas, buah dadaku tertekan oleh dadanya, sementara perutnya menempel di atas perutku.

“Arghh..!! Jangann..! Sakiitt..!!” rintihku sambil berusaha menggeser pinggulku ke kiri dan ke kanan, saat kurasakan kemaluannya bergesekan dengan bibir kemaluanku.
“Sakiitt..!” aku kembali mengerang saat kepala penisnya mulai masuk ke dalam liang vaginaku.

Bersamaan dengan itu, tangan Pak Bobby bergerak, menjambak rambutku dan menariknya sehingga kepalaku terdongak, kemudian Pak Bobby dengan kasar melumat bibirku sambil terus menekankan tubuhnya ke arah selangkanganku. Kurasakan kesakitan yang luar biasa di dalam liang vaginaku saat batang penisnya terus melesak masuk menghunjam ke dalam lubang kemaluanku.

“Ahh..! Jangann..! Sakiitt..!” aku kembali menjerit dengan keras saat batang penisnya menembus dan merobek selaput daraku.

Tubuhku melenting ke atas menahan sakit yang amat sangat. Kuangkat kakiku dan kutendang-tendangkan, aku berusaha menutup kedua kakiku, tapi tetap saja batang penis itu terbenam di dalam vaginaku. Aku sungguh tersiksa dengan kesakitan yang mendera vaginaku. Kuhempaskan wajahku ke kiri dan ke kanan, membuat sebagian wajahku tertutup oleh rambutku sendiri, mataku membeliak dan seluruh tubuhku mengejang hebat. Kukatupkan mulutku, gigiku bergemeretak menahan sakit dan ngilu, nafasku seperti tercekat di tenggorokan dan tanpa sadar kucengkeram keras tangan Pak Burhan yang sedang memegang kedua tanganku.

Aku masih terus merintih dan menangis, aku terus berusaha menendang-nendangkan kedua kakiku saat Pak Bobby menarik batang penisnya sampai tinggal kepala penisnya saja yang berada di dalam liang vaginaku, lalu menghunjamkannya kembali ke dalam liang rahimku. Pak Bobby sudah benar-benar kesetanan, dia tidak peduli melihatku yang begitu kesakitan, dia terus bergerak dengan keras di dalam tubuhku, memompaku dengan kasar hingga membuat tubuhku ikut terguncang turun naik mengikuti gerakan tubuhnya.

“Ahh.. Sshh.. Lepaskann..!” jeritanku melemah saat kurasakan gerakannya makin cepat dan kasar di dalam liang kemaluanku, membuat tubuhku makin terguncang dengan keras, buah dadaku pun ikut mengeletar.

Kemudian Pak Bobby mendaratkan mulutnya di buah dadaku, menciumi dan mengulum puting payudaraku, sesekali dia menggigit puting buah dadaku dengan giginya, membuat aku kembali terpekik dan melenguh kesakitan. Kemudian mulutnya bergerak menjilati belahan dadaku dan kembali melumat bibirku, aku hanya bisa diam dan pasrah saat lidahnya masuk dan menari-nari di dalam mulutku, sepertinya dia sangat puas karena telah berhasil menggagahi dan merenggut keperawananku.

Perlahan-lahan dia menghentikan gerakannya memompa tubuhku, melesakkan kemaluannya di dalam liang vaginaku dan menahannya di sana sambil tetap memelukku dengan erat. Setelah itu dia menurunkan mulutnya ke sekitar leher dan pundakku, menjilatinya dan kemudian menyedot leherku dengan keras, membuat aku melenguh kesakitan. Cukup lama Pak Bobby menahan penisnya di dalam liang kemaluanku, dan aku dapat merasakan kemaluannya berdenyut dengan keras, denyutannya menggetarkan seluruh dinding liang vaginaku, lalu dia kembali bergerak memompa diriku, memperkosaku pelan pelan, lalu cepat dan kasar, begitu berulang ulang. Sepertinya Pak Bobby sangat menikmati pemerkosaannya terhadap diriku.

Aku meringis sambil tetap memejamkan kedua mataku, setiap gerakan dan hunjaman penisnya terasa sangat menyiksa dan menyakiti seluruh tubuhku, sampai akhirnya kurasakan mulutnya makin keras menyedot leherku dan mulai menggigitnya, aku menjerit kesakitan, tapi tangannya malah menjambak dan meremas rambutku. Tubuhnya makin rapat menyatu dengan tubuhku, dadanya makin keras menghimpit buah dadaku, membuatku makin sulit bernafas, lalu dia mengatupkan kedua kakiku dan menahannya dengan kakinya sambil terus memompa tubuhku, kemaluannya bergerak makin cepat di dalam vaginaku, kemudian dia merengkuh tubuhku dengan kuat sampai benar-benar menyatu dengan tubuhnya.

Aku sadar Pak Bobby akan berejakulasi di dalam tubuhku, mendadak aku jadi begitu panik dan ketakutan, aku tidak mau hamil karena pemerkosaan ini, pikiranku jadi begitu kalut saat kurasakan batang kemaluannya makin berdenyut-denyut tak terkendali di dalam liang rahimku.

“Jangann..! Jangan.. Di dalam..! Lepasskan..!!” jeritku histeris saat Pak Bobby menghentakkan penisnya beberapa kali sebelum akhirnya dia membenamkanya di dalam liang kemaluanku.

Seluruh tubuhnya menegang dan dia mendengus keras, bersamaan dengan itu aku meraskan cairan hangat menyemprot dan membasahi liang rahimku, Pak Bobby telah orgasme, menyemburkan sperma demi sperma ke dalam vaginaku, membuat dinding vaginaku yang lecet makin terasa perih. Aku meraung keras, tangisanku kembali meledak, kutahan nafasku dan kukejangkan seluruh otot-otot perutku, berusaha mendorong cairan spermanya agar keluar dari liang vaginaku, sampai akhirnya aku menyerah. Bersamaan dengan itu tubuh Pak Bobby jatuh terbaring lemas di atas tubuhku setelah seluruh cairan spermanya mengisi dan membanjiri liang rahimku.

Mataku menatap kosong dan hampa, menerawang langit-langit ruangan tersebut. Air mataku masih mengalir, pikiranku kacau, aku tidak tahu lagi apa yang harus kuperbuat setelah kejadian ini, kesucianku telah terenggut, kedua bajingan ini telah merenggut kegadisan dan masa depanku, tapi yang lebih menakutkanku, bagaimana jika nanti aku hamil..! Aku kembali terisak meratapi penderitaanku.

Tapi rupanya penderitaanku belum berakhir. Pak Bobby bergerak bangun, melepaskan himpitannya dari tubuhku, aku kembali merintih, menahan perih saat batang kemaluannya tertarik keluar dari liang kemaluanku. Kuangkat kepalaku, kulihat ada bercak darah bercampur dengan cairan putih di sekitar pangkal pahaku. Aku menangis, pandanganku nanar, kutatap Pak Bobby yang sedang berjalan menjauhiku dengan pandangan penuh dendam dan amarah.

Seluruh tubuhku terasa sangat lemah, kucoba untuk bangun, tapi Pak Burhan sudah berada di sampingku, dia menggerakan tangannya, menggulingkan tubuhku dan mulai menggumuli tubuhku yang menelungkup, aku diam tak bergerak saat Pak Burhan menciumi seluruh punggungku, sesaat kemudian dia bergerak ke arah belakang tubuhku, merengkuh pinggangku dan menariknya ke belakang. Aku terhenyak, tubuhku terseret ke belakang, lalu Pak Burhan mengangkat pinggulku ke atas, membuat posisiku jadi setengah merangkak, kutopang tubuhku dengan kedua tangan dan lututku, kepalaku menunduk lemas, rambut panjangku tergerai menutupi seluruh wajahku, kepanikan kembali melandaku saat kurasakan batang penisnya menempel dan bergesekan dengan bibir vaginaku.

“Linda..! Kamu memang benar-benar cantik dan seksi..” gumam Pak Burhan sambil tangannya meremasi pantatku, sementara batang penisnya terus menggesek-gesek di bibir vaginaku.
“Ahh.! Sakiitt..! Sudahh.. Sudah..! Hentikann..!! jeritku menahan sakit saat kemaluannya mulai melesak masuk ke dalam liang vaginaku.

Kuangkat punggung dan kedua lututku, menghindari hunjaman batang penisnya, tapi Pak Burhan terus menahan tubuhku, memaksaku untuk tetap membungkuk. Seluruh otot di punggungku menegang, tanganku mengepal keras, aku benar-benar tak kuasa menahan perih saat penisnya terus melesak masuk, menggesek dinding vaginaku yang masih luka dan lecet akibat pemerkosaan pertama tadi, kugigit bibirku sendiri saat Pak Burhan mulai bergerak memompa tubuhku.

“Lepasskan..! Sudah..! Hentikaann..!!” jeritku putus asa.

Nafasku kembali tersengal sengal, tapi Pak Burhan terus memompaku dengan kasar sambil tangannya meremasi pantatku, sesekali tangannya merengkuh pinggulku, menahan tubuhku yang berusaha merangkak menjauhi tubuhnya, seluruh tubuhku kembali terguncang, terombang ambing oleh gerakannya yang sedang memompaku.

Tiba tiba kurasakan wajahku terangkat, kubuka mataku dan kulihat Pak Bobby berjongkok di depanku, meraih daguku dan mengangkatnya, Pak Bobby tersenyum menatapku dengan wajah penuh kemenangan, menatap buah dadaku yang menggantung dan menggeletar, meremasnya dengan kasar, lalu Pak Bobby mendekatkan wajahnya, menyibakkan rambutku yang tergerai, sesaat kemudian, mulutnya kembali melumat bibirku, mataku terpejam, air mataku kembali meleleh saat mulutnya dengan rakus menciumi bibirku.

“Ahh..!!” aku terpekik pelan saat Pak Burhan menyentakkan tubuhnya dan menekanku dengan kuat.

Batang penisnya terasa berdenyut keras di dalam lubang kemaluanku, lalu kurasakan cairan hangat kembali menyembur di dalam liang rahimku, aku menyerah, aku sudah tidak punya kekuatan lagi untuk melawan, kubiarkan saja Pak Burhan menyemburkan dan mengisi liang kemaluanku dengan cairan spermanya.

“Periihh..!!” rintihku pelan.

Pak burhan masih sempat menghunjamkan kemaluannya beberapa kali lagi ke dalam liang vaginaku, menghabiskan sisa sisa ejakulasinya di dalam liang rahimku sebelum akhirnya dia menariknya keluar melewati bibir vaginaku yang semakin terasa perih.

Sedetik kemudian satu kepalan tangan mendarat di wajahku. Aku terlempar ke samping, pandanganku berkunang kunang, lalu gelap. Aku jatuh pingsan. Saat siuman aku temukan foto-foto telanjangku berserakan di samping tubuhku dengan sebuah pesan..

“Pastikan..! Hanya Kita Bertiga yang Tahu..!!”

Hari itu juga aku kembali pulang ke Jakarta dengan membawa penderitaan yang amat berat, sesuatu yang paling berharga telah hilang dari diriku dirampas oleh kebiadaban mereka.

Topics: Umum | 26 Comments »
Noreen

By sebastian | July 17, 2008 

Noreen (bukan nama sebenarnya, tapi kerana ada mirip dengan pelakon Noreen Noor, kita panggil saja dia Noreen) berpaling dan mendapati bekas bapa mertuanya telah melondehkan kain sarongnya. Batang bekas bapa mertuanya yang hitam, panjang dan lebar itu semakin menegang.

Noreen berdiri terpaku di tengah kebun yang terpencil itu. Mereka tersembunyi daripada sesiapa jua, tempat yang Noreen datang untuk berjauhan dari orang lain. Untuk berfikir tentang bekas suami yang pergi begitu saja selepas menceraikannya. Tanpa disangka-disangka bapa mertuanya ada di situ. Bapa mertuanya berjalan ke arahnya. Dengan setiap langkah Noreen lihat batang bapa mertuanya semakin menegak. Tetapi Noreen Noreen berdiri kaku di situ.

Noreen membiarkan bapa mertuanya itu memeluknya dan merebahkan badan ke tanah. Dia berasa semakin lemah apabila tangan bapa mertuanya menyelak skirtnya dan seterusnya meraba-meraba tempat membusut yang hanya ditutupi oleh seluar dalam kecilnya.

Dalam sekejap masa saja rabaan itu menyebabkan bahagian bawah seluar dalam itu menjadi lembab. Tidak puas dengan hanya meraba-meraba di luar, orang tua itu terus menanggalkan seluar dalam kecil itu. Tempat rahsianya tidak lagi dibaluti oleh seutas benang pun. Tangan bapa mertuanya masuk ke celah kangkang Noreen, sambil meraba dan membelai tempat yang membonjol di celah kangkangnya.

Buat seketika Noreen takut juga akan dilihat orang. Namun di sini tiada orang lain. Hanya dia dan bapa mertuanya saja. Dia amat dahagakan seks. Dah lama dia tak dapat bersama lelaki yang dapat memuaskannya. Mungkin bapa mertuanya di kampung terpencil ini boleh.

“Aah..,” Noreen mengeluh bila merasakan jari orang tua itu mengentel klitorisnya.

Tanpa disedarinya bapa mertuanya itu mulai bergerak ke bawah. Bapa mertuanya mengangkangkan peha Noreen. Muka bapa mertuanya hanya beberapa inci daripada permukaan yang lembab itu. Noreen dapat merasakan kedua belah tangan bapa mertuanya memegang belah dalam pehanya supaya tidak tertutup.

“Ooh.. Arrgh!” Noreen tersentak apabila mulut bapa mertuanya tiba-tiba mengucup bibir pukinya.

Dia dapat merasakan lidah orang tua itu seperti ular mencuri-mencuri masuk ke dalamnya. Nafas Noreen terasa sesak apabila lidah itu keluar masuk dengan rancak ke dalamnya. Sekali ke tepi dan sesekali ke bawah, kemudian ke kiri dan kanan.

Kemudian orang tua itu menindih tubuh Noreen yang montok itu sehingga batang yang keras itu berada tepat di rekahan puki bekas menantunya. Dia bergerak ke depan sedikit sehingga tempat sulit mereka bersentuhan. Tangan Noreen ke bawah memegang batang pelir orang tua itu. Diusap-usap batang yang keras itu sebelum menyelitkan kepala tombol itu di celah bibir buritnya. Melihat pelawaan dari Noreen itu bapa mertuanya terus menekan batangnya masuk ke dalam puki Noreen. Lubang yang basah itu dengan amat mudah menerima batang tersebut walaupun agak besar juga.

“Aah..” Noreen mengerang apabila batang itu masuk sepenuhnya.

Sambil menujah puki Noreen dengan batangnya orang tua itu juga tidak henti-henti menghisap puting tetek Noreen. Punggung Noreen bergerak rancak apabila pukinya kena main dengan begitu sekali oleh bapa mertuanya. Dia mengerang tak henti2. Lubangnya berdecik-berdecik berbunyi apabila orang tua itu dengan laju memasuk dan mengeluarkan batangnya. Punggung Noreen terangkat buat kali terakhir sambil dia merangkul tubuh bapa mertuanya. Dia sampai ke kemuncaknya apabila terasa bapa mertuanya mula memancut di dalamnya.

Noreen terdampar keletihan. Peluh membasahi tubuhnya. Belum pernah dia kena main di tengah kebun begitu dan belum pernah dengan lelaki berumur 60 tahun. Masih hebat lagi orang tua itu rupanya. Mungkin dah lama dia tak dapat, apa lagi setelah kematian isterinya tahun empat bulan lalu. Tidak lama kemudian tanpa sebarang kata-kata, bapa mertuanya berlalu dari situ dan Noreen beredar pulang.

*****

Malam itu setelah makan malam, Noreen ke biliknya untuk tidur. Sudah hampir pukul 12 malam baru bapa mertuanya pulang, entah dari mana. Walaupun pada siang tadi Noreen telah membiarkan dirinya disetubuhi oleh bapa mertuanya, dia bukan berhasrat untuk mengulanginya lagi. Mungkin kalau dengan orang lain tak apa, tapi tak kanlah pula dengan bapa mertuanya sendiri. Mungkin tadi kerana nafsu seks yang sudah lama tidak dipuasi maka dia membiarkan dirinya disetubuhi. Tetapi sedikit sebanyak dia terasa menyesal sedikit.

Noreen sudah nyenyak tidur apabila biliknya dimasuki bapa mertuanya. Orang tua itu perlahan-lahan menghampiri katilnya. Bilik itu hanya diterangi oleh lampu malap di tepi katil. Tapi ia sudah cukup terang untuk bapa mertuanya melihat tubuh Noreen yang hanya dibaluti baju tidur yang jarang dan singkat.

Orang tua itu duduk di atas katil di tepi menantunya. Perasaan ghairahnya semakin membuak, apalagi melihat peha Noreen yang terkangkang sedikit. Noreen memang sudah kebiasaannya tidak memakai pakaian dalam bila dia tidur. Kurang selesa rasanya. Bulu-bulu hitam halus di sekeliling kemaluannya dapat dilihat samar-samar oleh bapa mertuanya. Tak sabar-sabar rasanya orang tua itu ingin menikmati sekali lagi tubuh yang cukup mengghairahkan itu.

Bodohnya anak aku meninggalkan perempuan yang secantik ini. Engkau tak mahu, untung aku boleh pakai sepuas2nya, fikir orang tua itu. Buat apa dibazir. Apalagi dia juga sedar bahawa menantunya yang belum mempunyai anak itu juga amat dahagakan seks. Dalam umur yang baru menjangkau 25 tahun tentu dia ingin dibelai sentiasa. Dia sendiri juga sama, setelah ketiadaan isterinya sudah beberapa tahun ini. Walau umurnya dah nak mencecah 60 tahun, namun masih lagi kuat tenaganya. Dan sejak berduaan saja dengan menantunya itu, semakin menjadi-menjadi pulak keinginannya.

Dia menyentuh kedua buah dada yang membusut itu dan meramas-meramas lembut. Terdengar nafas Noreen turun naik semakin kencang sikit dan puting buah dadanya mula mengeras dan berkerut-kerut. Dia berhenti seketika untuk membuka butang baju tidur menantunya. Selesai membuka butang, dia terus saja menarik ke kiri dan kanan. Kemudian dia melucutkan kain yang dipakainya sendiri. Batangnya sudah terpacak keras. Mahu saja dia menindih tubuh menantunya, tapi dia sedar dia tidak harus gopoh. Dia harus mengghairahkan Noreen dulu supaya menantunya akan mengikut apa sahaja kehendaknya nanti.

Dia naik ke atas katil dan tidur mengiring di tepi menantunya yang masih nyenyak. Tangannya merayap semula ke dada Noreen. Seronok dia meramas-meramas kedua belah buah dada yang membusut itu. Sekali dia menggentel kedua-kedua puting yang menjadi keras semula. Sekali lagi nafas Noreen turun naik dengan cepat. Orang tua itu merapatkan tubuhnya ke tubuh Noreen. Digesel-Digesel batangnya pada peha Noreen sambil dia mencium buah dada menantunya. Apabila mulutnya terjumpa terus saja dia menghisap puting buah dada yang keras itu. Tangannya pula merayap ke celah kangkang Noreen. Dia menggosok-menggosok puki Noreen.

“Mm..” Noreen mengerang sambil pehanya dengan sendiri terbuka.

Bapa mertuanya mengusap-mengusap bulu-bulu halus yang menutupi kemaluan Noreen sebelum jarinya ke celah bibir yang sudah mulai lembab sedikit. Digosok-Digosok dan dikuis-kuisnya lembut sehingga di celah-celah bibir itu mulai basah. Mukanya meninggalkan dada Noreen. Dia mencium pipi Noreen sebelum mulut mereka bertemu. Mulut Noreen terbuka menerima lnoreennya. Jarinya mulai keluar masuk kemaluan Noreen. Kemudian dua jari masuk ke dalam kemaluan menantunya pula.

“Uuhh..” tiba Noreen mendengus sambil membuka matanya. Terkejut seketika dia melihat muka bapa mertuanya hanya beberapa inci dari mukanya.
“Huh..?”
“Bapak stim..”
“Kenapa tak kejutkan Noreen? Datang curi-curi pulak..”
“Saja..”
“Kalau datang mintak takut Noreen tak bagi?”
“Heh heh.”
“Kalau mintak takkan lah Noreen tak bagi. Kan Noreen bagi petang tadi..”

Dia tersenyum memandang bapa mertuanya.

“Mm..” dia memandang ke bawah sambil tersenyum apabila terasa jari orang tua itu menggentel-gentel kelentitnya.
“Kamu ni dah lama tak kena, ya?”
“Kan petang tadi dah kena dengan bapak..”
“Yalah, sebelum tu maksud aku.”
“Kenapa bapak cakap begitu?”
“Aku gentel sikit, kamu dah cukup basah..”
“Memanglah dah lama tak dapat..”

Tangan Noreen memegang batang bapa mertuanya yang asyik menyucuk-menyucuk pehanya. Dibelainya dengan lembut. Kemudian dilancapnya perlahan-perlahan sehingga orang tua itu pula yang mula mengerang. Noreen melepaskan seketika batang itu sebelum menolak bapa mertuanya supaya tidur melentang. Dia menindih badan orang tua itu tetapi dengan kepalanya ke bawah. Dipegangnya batang itu semula sebelum membongkokkan kepalanya. Noreen menjilat sekeliling kepala tombol itu sebelum dimasukkan ke dalam mulutnya. Kemudian dia menghisap perlahan-lahan.

Cukup stim orang tua itu dikerjakan Noreen dengan mulutnya sehingga dia terasa akan pancut dalam sedikit masa saja lagi. Dia pun tidak tahan sabar lagi. Terus diangkatnya punggung Noreen supaya naik ke atasnya. Kedua lutut Noreen berada di sebelah kiri dan kanan kepala bapa mertuanya.

Terpampanglah kemaluan Noreen yang terbuka luas hanya beberapa jengka dari muka orang tua itu. Tak sabar-sabar lagi orang tua itu pun menyembamkan mukanya ke puki Noreen. LNoreennya terus saja masuk ke celah-celah bibir puki menantunya sambil tangannya meramas-meramas punggung Noreen yang lebar itu. Kemudian tangannya membuka punggung Noreen, meninggalkan burit Noreen seketika untuk naik ke atas sikit mencari lubang jubur menantunya pula.

Dijilatnya tempat itu pula sehingga Noreen kegelian dibuatnya. Sedap ada, geli ada, jijik pun terasa. Tapi biarkan kalau itu yang orang tua itu suka. Lama mereka dalam posisi 69 itu sebelum Noreen bangun semula. Dia bertinggung di atas bapa mertuanya. Dipegangnya batang orang tua itu sebelum dia melabuhkan buritnya ke atas kepala tombol. Dengan amat mudah sekali batang itu masuk ke dalam lubangnya yang memang sudah cukup basah. Apabila batang itu tenggelam sepenuhnya, Noreen mengemut2kan kemaluannya.

“Aah..” orang tua itu mengerang.
“Kenapa? Tak suka?”
“Ada ke tak suka?” bapa mertuanya menjawab.
“Puki kamu ni memang cukup sedap.”

Dia memegang punggung Noreen supaya tidak bergerak sebelum dia mencabut sedikit kemudian masuk semula. Dia selang seli melaju dan memperlahankan tujahan ke dalam Noreen.

“Oohh..” Noreen pula mengerang.
“Kamu? Tak suka?”
“Memanglah batang bapak pun sedap. Kalau tidak tak kan mau Noreen bagi kat bapak,” dia berkata sambil menunduk dan mengucup mulut bapa mertuanya.

Sambil itu Noreen menggerak-gerakkan punggungnya seperti orang sedang menari gelek dan dalam sekejap masa saja burit Noreen mengembang sedikit dan dia terus sampai ke kemuncaknya. Orang tua itu terus mengocak puki Noreen sehingga menantunya mula ghairah semula.

“Noreen?”
“Mm?” menantunya menjawab manja.
“Kalau bapak mintak sesuatu, Noreen bagi tak?”
“Hmm, apa dia?”
“Boleh bapak pancut dalam mulut Noreen?”
“Terserah kalau bapak mahu..”

Lalu orang tua itu mula menojah puki Noreen dengan lebih laju lagi. Apabila Noreen terasa batang itu menjadi begitu tegang di dalamnya dia terus mencabut batang tu dari celah kangkangnya. Cepat-Cepat dia mengambil batang itu ke dalam mulutnya dan menghisap pula.

“Arrgh..” orang tua itu mengerang dan memegang kepala menantunya dan air maninya terpancut di dalam mulut Noreen.

Menantunya menghisap-menghisap hingga terkeluar semua air mani dan ditelannya. Apabila batang itu mulai lembik baru dilepaskan dari mulutnya. Kemudian Noreen menngucup batang yang telah begitu mendatangkan kepuasan kepadanya sedikit masa tadi. Seolah-olah susah nak dipercayai, batang yang sudah lembek itu telah berjaya membuak-buakkan nafsunya tadi. Mereka tertidur dalam keadaan bogel.

Kerana keletihan mereka tidur hingga ke pagi. Bila orang tua itu terjaga Noreen tidur dengan membelakangi bapa mertuanya. Dalam keadaan itu punggungnya berada rapat di perut bapa mertuanya. Kalaupun tidak kerana itu, memang dia sentiasa terjaga dengan batang yang keras. Selalunya kerana ingin ke bilik air. Dia bangun untuk membuang air kecil. Selesai saja dia masuk semula ke dalam.

Noreen masih tidur dalam posisi yang sama. Orang tua itu mengintai ke bawah. Jelas sekali dapat dilihat bibir kemaluan Noreen. Batangnya mengeras sekali lagi. Dia membongkok dan mengucup bibir puki menantunya seketika. Lembab dan masin sedikit. Cukup menaikkan nafsunya. Dia baring semula dan memeluk Noreen dari belakang. Dia menggerak-gerakkan punggungnya sedikit sehingga kepala tombol pelirnya berada di pintu masuk ke kemaluan Noreen. Jarinya menguakkan bibir puki Noreen sebelum diselitnya kepala tombol pelirnya di celah-celah bibir puki menantunya.

Posisi itu memang membuat lubang Noreen ketat sedikit dan agak sukar untuk dimasuki sepenuhnya. Dengan hanya kepala tombol saja di dalam orang tua itu menggerakkan punggungnya. Tangan kanannya memegang punggung Noreen sambil dia berbuat begitu. Lama kelamaan lubang itu jadi basah dan licin sedikit. Orang tua itu pun terus menekan batangnya ke dalam sepenuhnya. Kemudian baru dia bergerak-bergerak mengocak puki Noreen.

“Mm..” terdengar Noreen mengerang.
“Sedap..?” orang tua itu membisik di telinga Noreen.
“Mm..” terdengar bunyi dari mulut Noreen.
“Nak bapak teruskan?”
“Mm.. Sedapnya Bapak..”

Orang tua itu bangun. Dia mengangkat peha kanan Noreen supaya menantunya tidur melentang. Kemudian sekali lagi dia menekan batangnya ke dalam puki Noreen yang sudah basah.

“Oo.. Oo..” Noreen merengek apabila terasa kemuncaknya semakin dekat.
“Laju lagi Bapak,” dia memberi arahan.

Bapa mertuanya menuruti saja kehendak Noreen. Dia memperlajukan tujahan batangnya ke dalam burit Noreen sehingga tubuh menantunya tiba-tiba kejang dan dia terus sampai ke puncak kenikmatannya. Tak semena-mena orang tua itu mencabut batangnya walaupun dia belum pancut. Kepala dia turun ke bawah. Sekali lagi dia menjilat puki Noreen.

Menantunya menggeliat keseronokan sambil disua-suakan celah kangkangnya kepada orang tua itu. Orang tua itu menghisap kelentitnya seketika sebelum merayap ke atas dan menindih tubuh menantunya. Noreen mencari-mencari batang yang keras itu dengan tangannya. Apabila terjumpa terus dibawanya ke pukinya sekali lagi. Dia mahu merasakan batang itu di dalamnya. Sambil meletakkan hujung pelir bapa mertuanya di pintu kemaluannya, dia mengangkat punggungnya.

“Aa.. Hh,” dia mengerang apabila batang itu tenggelam sepenuhnya ke dalam buritnya. Punggungnya bergerak ke kiri dan kanan yang menyebabkan batang itu keluar masuk dari dalamnya.
“Sedapnya Pak..” dia membisik di telinga bapa mertuanya.

Orang tua itu merangkul tubuh Noreen sambil punggungnya bergerak laju ke depan dan belakang. Batangnya semakin rancak keluar masuk dari puki menantunya yang sudah cukup basah itu. Tidak lama kemudian dia menekan jauh ke dalam sambil melepaskan pancutan demi pancutan ke dalam.

Selesai sarapan mereka ke kebun. Noreen menolong bapa mertuanya di kebun dengan tekun. Hampir tengah hari mereka kembali semula ke rumah. Noreen menyediakan masakan tengah hari. Setelah makan, orang tua itu ke bilik mandi. Selesai mandi, dia menyalin pakaian dan berehat di atas sofa di ruang tamu. Setelah selesai mandi dan mengenakan baju-T serta kain sarong, Noreen datang membawa minuman kepada bapa mertuanya. Sambil duduk di samping bapa mertuanya dan menikmati minuman kopi, Noreen mempelawa untuk mengurut tubuh orang tua yang nampak keletihan itu. Orang tua itu setuju sahaja, tetapi mengajak Noreen ke dalam bilik.

Dia berbaring di atas katil dan Noreen mula mengurut. Mula-Mula di bahu dan belakang, diikuti dengan betis dan peha pula. Kemudian Noreen menyuruh bapa mertuanya mengalih kedudukan supaya dia boleh mengurut bahagian depan pula. Apabila orang tua itu mengalih posisi, ternampak sesuatu menongkat kain sarongnya. Dia tersengeh. Noreen pura-pura buat tak nampak sambil dia mengurut. Tiba-tiba orang tua itu menyentuh buah dada Noreen. Dibiarkannya sahaja. Orang tua itu meramas-meramas kedua tetek Noreen.

“Itu nak mengurut ke nak apa tu..?” Noreen berkata sambil ketawa.
“Tengah urut le ni..” orang tua itu tersengeh.
“Nak Noreen urut kat sini juga?” perempuan muda itu menyentuh tempat yang menongkat kain sarong bapa mertuanya.
“Urut situ pun bagus juga..” kata orang tua itu.
“Tapi biar aku urut kau dulu. Nak?”
“Mm..” jawab Noreen manja.
“Kalau nak, Noreen baringlah.”

Tanpa disuruh dua kali, Noreen pun merebahkan badannya ke katil. Bapa mertuanya menyuruhnya meniarap. Noreen mengikut perintah lagi. Orang tua itu bangun dan duduk di atas punggung Noreen sambil tangannya mula memicit bahu menantunya. Kemudian tangannya ke bawah pula, ke pinggang dan seterusnya ke betis dan peha. Bila bahagian dalam pehanya diurut, Noreen menggeliat keenakan. Memang dia sudah mula terangsang. Dari tadi pun, ketika dia memicit tubuh bekas bapa mertuanya kehangatan telah merebak ke seluruh tubuhnya. Apalagi bila melihat batang orang tua itu menongkat kain sarungnya, tanda bahawa bekas bapa mertuanya sekali mahu memain pukinya.

“Bapa rasa Noreen buka semua pakaian. Lagi senang bapa urut..”
“Ya ke?” kata Noreen sambil menoleh ke belakang, melihat bekas bapa mertuanya tersengeh saja.
“Bapa bukakanlah untuk Noreen..” dia menyuruh manja.

Tanpa disuruh dua kali orang tua itu melondehkan kain sarung dan membuka baju Noreen. Bekas menantunay itu memang tidak memakai pakaian dalam jadi terdedahlah tubuhnya yang putih melepak untuk ditatap dengan geram oleh orang tua itu. Bekas bapa mertuanya itu terus melucutkan kain sarung yang dipakainya sendiri.

“Nak bapa urut dengan lidah ke dengan ini?” katanya sambil mengisyaratkan batangnya keras menunjuk langit.
“Suka hati Bapak lah..” jawab Noreen sambil ketawa.

Orang tua itu kembali duduk di atas buntut Noreen. Batangnya diletakkan di rekahan punggung Noreen sambil dia menggerak-menggerak punggungnya ke depan dan belakang. Noreen menggeliat kegelian. Dapat dirasakan celah kangkangnya mulai basah sedikit. Orang tua itu menindih belakang Noreen dengan tubuhnya. Dikuakkan rambut Noreen untuk mencari belakan tengok Noreen. Dicium dan dijilatnya hingga ke telinga.

“Mm..” Noreen mendengus apabila cuping telinganya dijilat.

Tak disangkanya orang tua itu begitu mahir sekali memainkan peranan untuk memuncakkan keberahiannya. Kalau seminggu dulu dia hanya menyayangi orang tua itu sebagai bekas mertuanya, tetapi kini perasaan sayang yang timbul sudah berbeza. Sayangnya kini sebagai seorang kekasih, apalagi kekasih yang cukup mahir dan hebat di ranjang sekalipun sudah lebih dua kali ganda umurnya sendiri.

Walau bekas bapa mertuanya tidak sekacak bekas suaminya dulu, namun itu tidak dikisahkan sangat oleh Noreen. Ternyata orang tua itu lebih hebat dari anak lelakinya sendiri dalam cara memuaskan perempuan. Dan itu yang lebih penting untuk Noreen kini. Dalam dua hari ini dia merasa lebih puas digomoli daripada setahun lebih hidup bersama suaminya dulu yang kurang mahir memberikan kepuasan seks kepadanya. Dan si tua yang pernah bergelar mertua ini ternyata tahu di mana terletak segala kunci eros di seluruh pelosok tubuhnya.

Pinggul Noreen mula terangkat-terangkat menerima geselan batang yang besar dan keras di celahan punggungnya yang masih padat dan gebu itu. Pehanya terbuka sehingga tubuh orang tua itu berada di celah kangkangnya. Bahagian depan kemaluannya ditekan-ditekan pada tilam di bawah perutnya. Namun itu untuk meredakan sedikit kegatalan yang semakin menjadi-menjadi di celah kangkangnya. Orang tua itu menggerakan tubuhnya ke bawah sedikit sehingga kepala tombolnya sesekali tersentuh dengan bibir kemaluan Noreen.

Terasa kebasahan di celah bibir itu di hujung pelirnya. Dia tahu bekas menanntunya kini sudah betul-betul berada di bawah taklukannya. Dia tersenyum puas kerana berjaya memperoleh perempuan muda dan cantik ini bukan dengan kekayaan atau ketampanannya, tapi dengan batangnya yang keras dan besar itu. Dia yakin Noreen sanggup mengabdikan diri kepadanya selagi dia masih berupaya memuaskan. Dia sendiri juga sanggup melakukuan segalanya supaya Noreen akan tetap tinggal serumah dengannya. Memang dia mengidamkan tubuh Noreen yang menggiurkan itu sejak pertama kali dia menatap wajah Noreen. Oleh itu dia berhasrat memuaskan segala hajatnya walaupun sampai seribu kali.

Sengaja dia ulit-ulitkan kepala tombolnya kelopak kemaluan bekas menantunya itu, namun tidak juga dimasukkan. Setiap kali kepala tombol itu tersentuh pintu farajnya setiap kali pula dia menanti dengan debaran untuk merasakan sekali lagi benda yang telah berkali-berkali membuatnya orgasme. Namun dia kehampaan apabila setiap kali pula hujung pelir itu merenggangkan diri darinya. Dia sememangnya kepingin sangat merasakan lubangnya diterobos dengan ganas oleh batang yang keras itu. Namun bekas bapa mertuanya itu begitu sadis sekali, membuatnya tertunggu-tunggu. Dia mmenghembus nafas kehampaan sekali lagi.

“Cepatlah, Pak!” Noreen merayu.
“Cepat apa?”
“Masukkanlah cepat..”
“Mm..? Sayang nak apa sebenarnya ni?”
“Noreen nak batang Bapak lah..” Noreen merenggek seperti anak kecil mahukan susu.
“Ya ke? Nak sangat-sangat?”
“Mm.. Nak sangat-sangat..”
“Nak dekat mana?”

Kini Noreen sedar bahawa orang tua itu sebenarnya mahu mendengar dia mengucapkan kata-kata lucah.

“Noreen mahu bapak.. Kongkek puki Noreen yang sudah basah ni, Pak..” dia sekali lagi merasakan hujung pelir bekas bapa mertuanya di rekahan.
“Puki Noreen dah tak tahan lagi kalau tak dapat rasa batang Bapak itu..”

Mendengar kata-kata yang sebegitu lucah dari mulut bekas menantunya membuat makin terlonjak nafsu seksnya. Hatinya terasa sedikit megah bahawa perempuan semuda dan secantik Noreen sekarang sudah ketagih dengan batangnya yang besar itu. Dia mengambil bantal untuk mengalas bahagian bawah perut Noreen. Dalam keadaan begitu Noreen tertonggeng sedikit dan mahkota di celah kangkangnya terbuka untuk digunakan sepuas-puasnya. Orang tua itu sekali lagi mengacukan hujung pelirnya ke belahan yang dipagarai bulu-bulu halus di celah kangkang Noreen. Tangannya ke kemaluan Noreen dan dengan menggunakan kedua ibu jarinya dia merenggangkan bibir yang dibasahi lendir itu.

“Sayang, tolong masukkan batang Bapak..” dia memberi arahan.

Tanpa menoleh tangan Noreen dengan cepat saja ke belakang mencari-mencari batang itu. Apabila ketemu terus saja ditariknya dan diselitkan di celahan buritnya yang sudah siap direkahkan oleh orang tua itu. Hanya selepas orang tua itu menekan kepala tombol itu ke dalam baru Noreen melepaskannya. Tangannya kemudian kehadapan untuk membantalkan kepalanya.

“Sedapnya, Pak..” dia merenggek lagi sambil punggungnya bergerak ke kiri dan ke kanan perlahan.

Tapi tiba-tiba.. Phhaapp..! Orang tua itu merejam batangnya ke dalam dengan puki Noreen dengan pantas hingga tenggelam sepenuhnya dan perutnya menghempap punggung Noreen.

“ADUH.. Oh mak..” janda muda itu berteriak kuat.

Walaupun memang dia sudah bersedia namun kemasukan batang yang besar itu ke dalamnya dengan tiba-tiba bukan saja membuat dia terkejut tetapi terasa senak sebentar. Liang farajnya terasa nyilu namun dia merasakan satu kelainan pula. Walau berbeza caranya tetap enak juga dirasakannya. Selalunya dia akan merasa batang dimasukan sedikit, dicabut dan dimasukkan lagi sedikit demi sedikit ke dalam sebelum vaginanya dia dienjot dengan laju. Orang tua itu menggembangkan batangnya sampai Noreen terasa lubang kemaluannya dipenuhi sepenuhnya sampai ke pintu rahim.

Noreen terasa pinggulnya dicengkam sebelum diikuti dengan batang itu ditarik keluar semula perlahan-perlahan sehingga kepalanya saja berada di dalam. Kemudian sekali lagi rejaman cepat ke dalamnya. Kali ini Noreen sudah bersedia. Kedua tangannya ke belakang untuk merenggangkan lagi lubang cipapnya.

“Oh.., Pak..!” Noreen mengerang.
“Sayang suka main macam ni?”
“Sedap, Pak. Kuat lagi Pak, Noreen dah nak sampai ni.” dan dua rejaman lagi kemaluannya sudah menggembang dan dia sudah orgasme.
“Ohh.. Aarrgghh..!” Noreen meraung, diikuti dengan ledakan umpama bom air dii celah kangkangnya.

Selepas itu bekas bapa mertuanya saja menarik dan menekan dengan laju sehingga sekali lagi Noreen menggerang-menggerang dibuatnya. Janda muda itu membalas tindakan itu dengan mengemut-emutkan liang farajnya. Biar dia rasa pulak, fikirnya. Kini giliran orang tua itu pula mendengus apabila merasakan liang vagina Noreen seperti mengurut-mengurut batangnya. Semakin dia melajukan permainannya, semakin galak pula dia merasakan batangnya dikemut. Akhirnya dia sendiri juga tidak dapat bertahan lagi untuk kali terakhir dia terjunam ke dalam lubang nikmat itu. Buat sejenak dia menahan nafas dan diikuti dengan pancutan jauh ke dalam rahim Noreen. Dia merangkul kemas pinggang Noreen sehingga ke pancutan terakhir.

“Arrgghh..!” dia mendengus.

Kehangatan pancutan itu juga dengan sendirinya membuat Noreen sekali lagi sampai ke kemuncaknya walaupun tidak sehebat kali pertama tadi. Orang tua itu bongkok mencium pipi bekas menantunya yang dibahasi keringat.

“Enak ya kalau kita boleh begini selalu?” dia berbisik di telinga Noreen.
“Kenapa tidak boleh?” Noreen menjawab.
“Terserah. Kamu boleh tinggal selama-lamanya di sini.” Dia tersenyum memikirkan kepuasan yang bakal dinikmati bersama Noreen pada hari-hari mendatang.

Di luar matahari sudah terbenam dan petang bertukar menjadi malam. Perlahan-Perlahan batangnya yang sudah sederhana keras tercabut dari celah kangkang bekas menantunya dan dia tertiarap di samping Noreen keletihan
Terjebak Permainan

By sebastian | July 17, 2008 

Namaku Nina, saat ini aku sedang kuliah semester akhir di salah satu perguruan tinggi swasta di kota Bandung. Saat kejadian itu menimpaku, aku sedang duduk di semester dua. Sebenarnya seluruh keluargaku tinggal di kota Jakarta, dan mereka agak keberatan jika aku harus kuliah di luar kota, tapi saat itu aku sudah bertekad untuk belajar hidup mandiri hingga akhirnya mereka mengijinkan aku untuk melanjutkan studi di kota tersebut.

Di Bandung aku tinggal di sebuah kos putri yang letaknya tidak begitu jauh dari kampusku. Aku tinggal bersama seorang temanku yang aku kenal di kampus. Namanya Lenny, dia gadis berdarah Sunda asli. Padahal dia bisa saja tinggal di rumahnya yang juga berada di kota Bandung, tapi menurutnya dia ingin lebih bisa berkonsentrasi dengan kuliahnya, jadi dia memutuskan untuk tinggal di kos bersamaku.

Lenny adalah gadis yang sangat pintar dan juga sopan, begitu sopannya sampai-sampai dia tidak pernah mengenakan pakaian yang seksi atau sedikit terbuka saat bepergian atau berangkat kuliah, padahal menurutku wajah Lenny sangat cantik, rambutnya panjang dan hitam dengan kulit tubuh yang putih mulus, layaknya gadis gadis Sunda pada umumnya, sementara postur tubuhnya juga sangat bagus dan proporsional, pinggangnya ramping didukung oleh kedua belah kakinya yang jenjang, apalagi Lenny juga memiliki payudara yang besar, mungkin dua kali lebih besar daripada buah dadaku. Pokoknya, jika saja Lenny mau berdandan dan sedikit mengubah penampilannya, dia bisa menjadi salah satu gadis tercantik di tempat kuliahku.

Untuk memenuhi kebutuhanku agar tidak terlalu mengandalkan uang kiriman dari orang tuaku, aku memutuskan untuk kuliah sambil bekerja paruh waktu di salah satu club billiard yang cukup besar dan eksklusif di kota Bandung. Aku bekerja menjadi salah seorang penjaga meja, sekaligus merangkap pramusaji di club tersebut, kadang kadang aku merasa sangat lelah dan letih, apalagi jika aku harus terpaksa pulang larut malam dari tempat kerja. Tapi tidak apalah, yang penting aku bisa mempunyai cukup uang dan dapat memenuhi kebutuhanku sendiri tanpa harus mengandalkan kiriman uang dari orang tuaku, lagipula aku sudah bertekad untuk belajar hidup mandiri.

Singkat cerita, hari itu aku sedang bingung, karena besok adalah hari terakhir waktu pembayaran uang semester, padahal kiriman dari orang tua belum juga sampai ke rekeningku, dan saat gajianku masih seminggu lagi, sementara uang tabunganku sudah habis untuk keperluan dan biaya hidupku sehari-hari hingga sore itu aku benar benar pusing memikirkannya. Akhirnya, kuberanikan diri untuk meminjam uang ke club tempat aku bekerja, tapi perusahaan tidak dapat mengabulkan permohonanku dengan alasan saat itu tidak ada dana yang tersedia karena seluruh uang yang ada sudah disetorkan ke pemiliknya.

Malam itu, dengan perasaan sedih dan bingung, aku berkemas untuk pulang kembali ke kosku. Saat itu jam kerjaku memang telah selesai. Aku berjalan lunglai dari ruangan karyawan, bingung memikirkan nasibku besok, saat kulihat Lenny sudah menungguku di ruang tunggu

“Gimana Nin? Dapat pinjaman uangnya?” tanya Lenny.
“Nggak bisa Len.. Nggak apa-apa deh, besok gua minta keringanan aja dari kampus” ujarku dengan nada lemas.
“Elu sendiri, dari mana.? Tumben mampir ke sini?” tambahku sambil melihat ke arah jam tanganku, saat itu sudah hampir jam sepuluh malam, tidak biasanya Lenny berani keluar malam-malam, pikirku heran.
“Gua abis dari mall di depan, ngecek ATM, siapa tahu kiriman gua udah sampai, buat nalangin bayaran elu, tapi ternyata belum sampai..” ujar Lenny dengan nada menyesal.
“Thanks banget untuk usaha lu Len.” ujarku sambil mengajaknya pulang.

Kami berdua berjalan melewati ruangan billiard. Saat itu di sana masih ada empat orang tamu yang sedang bermain ditemani oleh manajerku, mereka adalah teman-teman dari pemilik club tersebut, jadi walaupun club tersebut sudah tutup, mereka tetap dapat bebas bermain. Aku sempat berpamitan dengan mereka sebelum aku kembali berjalan menuju pintu keluar saat tiba-tiba salah seorang dari mereka memanggilku..

“Nin.., Temenin kita main dong..!” serunya.
“Kita taruhan. Berani nggak?” tambah temannya sambil melambaikan tangannya ke arahku.

Aku tertegun sejenak sambil menatap bengong ke arah mereka. Rupanya mereka sedang berjudi, dan mereka mengajakku untuk bergabung. Wah, boleh juga nih. Siapa tahu menang.., pikirku.

“Taruhannya apa? Saya lagi tidak bawa uang banyak..!” seruku, sementara kulihat Pak Dicky manajerku, berjalan menghampiriku.
“Gampang.., kalau kamu bisa menang, satu game kami bayar lima ratus ribu, tapi kalau kamu kalah, nggak perlu bayar, kamu cuma harus buka baju aja, kita main sepuluh game.. Setuju?” seru salah seorang dari mereka.

Aku terkesiap mendengar tantangannya, kulirik Lenny yang saat itu sudah berada di depan pintu keluar, dia tampak menggelengkan kepalanya, sambil memberi tanda kepadaku, agar aku cepat-cepat meninggalkan club tersebut.

“Brengsek! Nggak mau..!” ujarku sambil membalikkan tubuhku. Bisa-bisa aku telanjang kalau dalam sepuluh game itu aku kalah terus, pikirku dengan sebal. Tapi tiba-tiba langkahku terhenti saat tangan manajerku menahan pundakku.
“Terima aja Nin, kamu kan lagi butuh uang, lagipula mereka nggak begitu jago kok..!” ujar manajerku berusaha membujuk.
“Tapi Pak..!” jawabku dengan nada bingung, sebenarnya aku mulai tertarik untuk memenuhi tantangan mereka, dengan harapan aku bisa memenangkan seluruh game, lagipula aku benar benar membutuhkan uang tersebut.
“Sudahlah.! Kalau kamu bersedia nanti saya kasih tambahan uang, lagipula nggak enak menolak tamu-tamu bos..” ujarnya sambil terus membujukku.
“Oke.. Tapi kalau saya kalah terus gimana?” tanyaku kepada mereka.
“Tenang aja, kamu hanya lepas baju aja kok! Kami janji nggak akan berbuat macam macam..!” seru orang yang berada paling dekat denganku.
“Baik.. Tapi janji.. Tidak akan macam macam!” jawabku memastikan perkataan mereka, sementara Lenny langsung berjalan menghampiriku.
“Lu udah gila apa Nin..! Gua ngga setuju!” serunya dengan nada marah.
“Tenang aja Len, elu duduk aja di sana, nungguin gua..! Oke?” ujarku sambil menunjuk ke arah sofa yang berada di pojok ruangan.
“Tapi Nin?” ujar Lenny dengan wajah ketakutan.
“Udah, nggak apa-apa, elu nggak perlu takut..” sanggahku sambil tersenyum menenangkan hatinya, akhirnya Lenny pun berjalan dan duduk di sofa tersebut.

Sudah lima game berjalan, aku menang dua kali dan kalah tiga kali, membuat aku harus menanggalkan jaket, blouse dan celana panjang yang kukenakan hingga saat itu hanya tersisa bra dan celana dalam saja yang masih melekat di tubuhku. Jangan sampai kalah lagi, ujarku dalam hati, dua kali lagi aku kalah, maka aku akan benar-benar bugil. Pikiranku mulai panik, sementara di pojok ruangan, Lenny sudah tampak mulai resah melihat keadaanku.

Tapi naas. Udara dingin dari AC di ruangan tersebut membuat aku sulit untuk berkonsentrasi sehingga aku kembali kalah pada game keenam, membuat mereka langsung bersorak riuh, memintaku untuk segera menanggalkan bra yang kukenakan. Aku sudah hampir menangis saat itu, tapi mereka terus memaksaku, maka dengan perasaan berat dan malu, akhirnya kulepaskan juga bra yang melekat di tubuhku, membuat buah dadaku langsung mencuat dan terbuka di hadapan mata mereka yang tampak melotot saat memandang tubuh telanjangku.

“Sudah.. Sudah, kita berhenti saja, saya menyerah!” seruku memelas sambil berusaha menutupi tubuh bagian atasku, saat itu aku sudah merasa sangat malu dan tidak lagi berminat untuk meneruskan taruhan itu.
“Nggak bisa..! Perjanjiannya kan sampai kamu telanjang, baru permainannya selesai..!” protes lawan mainku, akhirnya aku hanya bisa menuruti kemauannya.
“Buka.. Buka..!” sorak mereka saat pada game berikutnya aku kembali kalah dan harus melepas celana dalamku.
“Sudah.. Kita batalkan saja taruhannya..!” jeritku sambil meraih pakaianku dan berlari menjauhi mereka, tapi salah seorang dari mereka dengan sigap menubrukku dari belakang, membuatku terhempas di atas meja billiard dengan posisi menelungkup dan laki-laki itu menindihku dari atas.
“Lepaskan..!” teriakku kaget sambil meronta dengan sekuat tenaga, tapi laki laki itu terus menindihku dengan kuat, membuat aku benar benar tidak bisa bergerak sama sekali, akhirnya aku terkulai lemah tak berdaya sambil terus menangis.
“Pak dicky..! Tolong saya Pak..!” jeritku sambil menyapukan pandangan mencari manajerku.

Betapa terkejutnya aku saat kulihat Pak Dicky sedang mendekap tubuh Lenny sambil tangannya berusaha melucuti pakaian yang melekat di tubuhnya dibantu oleh tiga orang temannya. Bersamaan dengan itu kurasakan sesuatu mendesak masuk ke dalam liang kemaluanku. Rupanya saat itu laki-laki yang berada di atas tubuhku, sudah akan memperkosaku. Dia menyelipkan batang penisnya dari sela-sela celana dalam yang kukenakan dan terus menekannya dengan keras, membuat batang kemaluannya makin terhunjam masuk melewati bibir vaginaku.

“Jangan.. Ouh..!!” jeritku sambil berusaha menahan pahanya dengan kedua tanganku, tapi batang kemaluannya terus melesak masuk, sehingga akhirnya benar-benar terbenam seluruhnya di dalam liang vaginaku.
“Jangan keluar di dalam, Pak..!” gumamku pelan sambil menahan tubuhku yang berguncang saat laki-laki itu mulai memompaku.
“Oke.. Uh.. Ssh.. Kamu cantik Nina..!” ceracau laki laki itu saat mulai bergerak di dalam tubuhku.
“Ouh.. Hh..!” desahku lirih.

Aku memejamkan mataku, merasakan getaran yang mulai menjalari seluruh tubuhku, saat pemerkosaku menghentakkan tubuhnya dengan makin cepat, membuat aku mulai terangsang saat itu, dan tanpa sadar aku pun ikut menggerakkan pinggulku, berusaha mengimbangi gerakannya.

Aku memang sudah sering melakukan hubungan badan dengan pacarku sejak aku masih duduk di bangku SMU, malah kegadisanku telah terenggut oleh pacarku saat aku masih di kelas satu SMA, dan sejak saat itu kami rutin melakukan aktifitas seks, sampai akhirnya aku pergi melanjutkan studi di Bandung, dan sekarang aku kembali merasakan kenikmatan itu setelah selama satu tahun aku tidak pernah lagi bersetubuh.

“Ouh.. Shh. Ah.” desahku sambil terus menggoyangkan pinggulku.

Sementara di pojok ruangan, kulihat Lenny sedang berjuang dengan sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari keempat orang yang sedang menggumulinya. Saat itu keadaan Lenny benar benar sudah sangat berantakan, kemeja lengan panjang yang di kenakannya sudah terbuka lebar dan hampir lepas dari tubuhnya, sementara bra yang dikenakannya sudah tampak setengah terbuka hingga membuat satu payudaranya menyembul keluar.

“Jangan.. Jangan.. Lepaskan.. Tolong..!” jeritnya keras sambil berusaha meronta dan melawan dengan gigih saat seseorang dari mereka mulai mengangkat rok panjang yang dikenakan oleh Lenny.
“Jangan..! Toloong..!” jerit Lenny makin keras sambil menendang-nendangkan kedua belah kakinya saat mereka mulai menggerayangi tubuh bagian bawahnya dengan buas.
“Hentikann..! Hentikan.!” teriak Lenny putus asa sambil menangis sejadi-jadinya sementara tangannya berusaha menggapai ke arah bawah, mencoba menahan tangan-tangan yang sedang melolosi celana dalamnya, tapi gerakannya tertahan oleh tangan Pak Dicky yang saat itu terus mendekap tubuh Lenny dari belakang.

Manajerku itu terus memaksanya untuk tetap berada di dalam pangkuannya, sambil sesekali meremas dan mempermainkan puting buah dada Lenny. Beberapa saat kemudian, dua orang dari mereka mengangkat tubuh Lenny sambil merenggangkan kedua belah kakinya, sementara Pak Dicky tetap mendekap tubuh Lenny sambil mulai mengarahkan batang kemaluannya ke sela-sela bibir kemaluan temanku itu.

Saat itu keadaan Lenny sungguh sangat mengenaskan, pakaian bagian atasnya sudah terbuka dengan lebar, sementara roknya pun telah tersingkap sampai sebatas perutnya, dan aku dapat melihat jelas, saat tubuh Lenny tampak menggeliat hebat ketika kedua orang yang mengangkat tubuhnya itu mulai menurunkannya dengan perlahan, membuat batang kemaluan Pak Dicky melesak masuk ke dalam liang vaginanya.

“Ough..! Jangaan..!” jerit Lenny parau sambil meringis kesakitan ketika vaginanya mulai dijejali oleh kemaluan Pak Dicky.

Perlahan, kulihat batang kemaluan itu terus melesak masuk sampai akhirnya lenyap dan terbenam seluruhnya di dalam liang rahim Lenny, saat itu tubuh Lenny benar-benar telah menyatu dengan tubuh Pak Dicky. Dan Lenny tampak mengerang kesakitan sambil menggeliatkan tubuhnya.

“Arghh.. Sakitt.., perihh, lepaskan itu dari tubuhku..!” jerit Lenny dengan nafas yang tersengal-sengal, dia masih berusaha meronta, ketika Pak Dicky mulai bergerak di dalam tubuhnya, membuat Lenny makin menjerit-jerit kesakitan, sampai akhirnya tubuhnya terkulai lemas tak sadarkan diri di dalam dekapan Pak Dicky.

Pak Dicky masih terus memompa tubuh Lenny yang pingsan itu dengan kasar, begitu kasarnya hingga membuat tubuh temanku itu ikut berguncang dengan hebat. Buah dadanya yang besar tampak menggeletar dan terlempar kesana kemari saat tubuhnya bergerak naik turun, sementara saat itu aku pun masih terus digarap oleh laki-laki yang sedang memperkosaku, sampai akhirnya tubuhku menegang dengan keras.

“Ohh..!” aku mendesah keras saat telah mencapai orgasme, seluruh sumsum di tulangku serasa ditarik keluar ketika aku benar-benar telah mencapai puncak kenikmatan, tapi tiba-tiba aku menjadi panik luar biasa saat kurasakan penis laki-laki itu berdenyut keras di dalam liang rahimku.

“Jangan.. Jangan di dalam..! Lepaskan.. Bajingan..!” jeritku putus asa saat kurasakan cairan hangat membanjiri rongga kemaluanku. Laki-laki itu telah menyemburkan cairan spermanya di dalam liang rahimku.

Sesaat kemudian posisinya sudah digantikan oleh temannya, dan aku kembali diperkosa. Sementara di pojok ruangan, Lenny pun masih terus digarap oleh mereka, kulihat darah keperawanannya meleleh keluar dari sela-sela bibir vaginanya, bercampur dengan cairan sperma, saat seorang dari mereka mulai kembali melesakkan liang vagina Lenny dengan batang penisnya.

Malam itu, Aku dan Lenny menjadi piala bergilir, tubuh kami berdua dikerjai dan diperkosa habis-habisan oleh mereka. Siksaan itu baru berakhir saat waktu sudah menunjukkan jam empat subuh. Kulihat di depanku tertumpuk sejumlah uang pecahan seratus ribu. Kuraih uang tersebut sambil berusaha bangkit dan mengenakan seluruh pakaianku, setelah itu aku berjalan mendekati tubuh Lenny yang masih meringkuk di sudut ruangan. Saat itu dia sudah siuman dari pingsannya, dia mengerang kesakitan sambil menangis meratapi kegadisannya yang telah terenggut paksa pada malam itu. Kurangkul tubuhnya dan membantunya berjalan pulang..

Sebelum sepuluh tahun yang lalu aku hanyalah anak laki-laki biasa yang senang bermain bola di lapangan yang becek sisa hujan semalam atau berlari-larian mengejar layangan putus sampai ke kebun orang dan dimarahi sang pemilik kebun. Tapi kemudian..

***

“Kak, mandi dulu baru makan!” teriak ibuku dari dapur.
“Ntar ah, lapar nih, Bu!” balasku juga berteriak.
“Kamu sih, main dari mulai pulang sekolah, baru pulang sore-sore begini.” Ibuku mengomel.

Habis mau bagaimana lagi aku suka sekali bermain layangan, apalagi sekarang sedang musimnya, jadi banyak sekali layang-layang yang berterbangan di atas langit sana mengajakku bermain kejar-kejaran dengannya.

“Ntar Mas Agus mau ke sini lho!” ucap ibuku.
“Iya, udah tahu!” balasku.

Mas Agus, pamanku, adalah anak dari kakak perempuan ayahku yang tinggal di sebuah kota di Jawa Tengah yang terkenal dengan candi Borobudurnya, dan di situ pulalah Mas Agus bekerja sebagai seorang tentara berpangkat sersan dua. Tapi walaupun tempat tinggal kami berjauhan, keluarga kami dan paman sudah sangat dekat. Dua atau tiga minggu sekali Mas Agus datang berkunjung ke rumah kami di Bandung.

Apabila paman datang aku pasti merasa sangat senang. Mengapa? Karena paman sangat baik, ia selalu mengajakku pergi berbelanja ke supermarket, dia membelikan banyak sekali barang yang kuminta. Ia sangat suka dengan anak kecil. Selain itu Mas Agus belum menikah padahal umurnya sudah hampir kepala tiga. Ia bilang pada ayahku bahwa ia belum siap untuk berumah tangga.

“Indra sini, ada Mas Agus.” panggil ibuku dari ruang tamu.
“Bentar Bu, lagi mandi.” teriakku dari dalam kamar mandi.

Kupercepat mandiku, kubilas seluruh busa-busa sabun yang menempel di badan hingga bersih, kemudian kuambil handuk dan kukeringkan di tubuhku. Lalu aku bergegas masuk kamar. Saat pintu kamar kubuka, ternyata Mas Agus sudah ada di dalam kamar.

“Udah mandinya?” tanyanya.
“Udah, seger banget Mas!” jawabku.
“Sini dibajuin sama Mas Agus.”
“Lepasin dulu handuknya, Ndra!”

Kulepaskan handuk dari tubuhku. Paman menatapku dengan pandangan aneh, lurus dan tajam ke arahku, tepatnya tubuhku.

“Mas Agus! Mas Agus!” kupanggil namanya beberapa kali. Dan seperti bangun dari mimpinya, dengan sedikit terhentak Mas Agus tersadar kembali.
“Oh, mm, kamu ambil bajunya terus bawa ke sini, biar Mas agus yang pakein.”

Kupilih salah satu t-shirt di dalam lemari, juga kaus dalam, CD, dan celana pendeknya, dan kemudian memberikannya pada Mas Agus. Mas Agus menerimanya dan meletakkan semuanya di atas kasur. Kemudian ia meraih bedak powder di atas meja di samping ranjang.

“Mas itu mah bedaknya ade. Aku kan udah gede udah nggak pake bedak lagi” ucapku saat itu juga.
“Ah, nggak apa-apa kok biar wangi.” jawabnya.

Mas Agus mulai menaburkan bedak dan menggosokkannya dengan rata ke seluruh tubuhku, termasuk pantatku, dan.. penisku.

“Badan kamu bagus, udah besar mau jadi apa? Mau nggak jadi tentara?” tanya pamanku masih sambil menggosok-gosokan bedak di tubuhku.
“Nggak tau ah, gimana entar aja.” jawabku sambil agak ketawa, habis geli banget diraba-raba sama Mas Agus.
“Sebentar yah!” Mas Agus beranjak dari ranjang menuju pintu kamar kemudian menguncinya.
“Kalo kamu jadi tentara nanti badan kamu bakal kebentuk seperti paman. Nih Mas Agus tunjukin badan Mas Agus.”

Paman mulai membuka pakaiannya helai demi helai. Diawali dengan kemeja biru langitnya, lalu kaus singletnya. Wah, badan Mas Agus memang bagus banget, dadanya keren, walaupun tidak begitu besar tapi berisi. Perutnya, wah kalau sekarang nih orang bilang six-packs. Lalu Mas Agus mulai membuka celana panjangnya. Di dalamnya terlihat CD-nya yang berwarna putih. Kemudian ia lanjutkan helai terakhir dan, wah.. besar sekali, di sekelilingnya juga ada hamparan bulu-bulu halus yang rapi terpotong pendek.

“Sini coba kamu pegang badan Mas Agus.” pintanya.
“Nah, kalau kamu mau jadi tentara kamu harus banyak olahraga dari sekarang, jadi badan kamu akan terbentuk seperti badan Mas Agus.” Dijelaskannya bagaimana ia bisa memiliki tubuh yang dibanggakannya sambil menuntun tanganku di sekitar dada dan perutnya.
“Ini kamu juga bakal ikut besar.” ucapnya sambil memegang penisku.
“Indra! Turun dulu!” Mas Agus spontan melepaskan tangannya dari penisku dan kembali memakai pakaian yang tadi dilepasnya saat mendengar teriakan Ibuku dari bawah.
“Iya!” teriakku sambil memakai pakaian yang dari tadi menunggu untuk kukenakan.

Saat malam sambil menonton televisi di ruang keluarga, paman menghampiri dan menaikkanku dalam pangkuannya.

“Kok nggak belajar?” tanyanya memulai percakapan.
“Nggak ada PR” jawabku singkat.
“Belajar kan nggak harus pas ada PR.” ucapnya menasehati. Aku diam saja, tak membalas.

Masih dalam pangkuan Mas Agus, waktu berlalu tanpa berkata sampai mataku akhirnya terpejam kelelahan, terlelap dalam pangkuannya. Tapi dalam hening malam itu, aku terusik oleh sesuatu. Tapi apa? Aku merasa ada seseorang yang meraba-raba tubuhku. Aku merasa begitu geli. Tapi kemudian rabaan-rabaan itu berhenti. Aku ingin membuka mataku.

Sedikit demi sedikit mataku terbuka. Dimana ini? Oh ini kan kamar tamu, pasti tadi Mas Agus menggotongku ke kamarnya karena aku ketiduran. Bola mataku bergerak ke arah kanan dan kulihat samar Mas Agus berdiri di samping ranjang sedang membuka helai demi helai pakaiannya. Setelah semua pakaiannya tanggal dari tubuhnya kemudian ia mengambil sesuatu di dalam tas ransel yang dibawanya. Kemudian paman duduk di ranjang, tepat di sampingku. Segera aku kembali memejamkan mataku, berpura-pura tidur. Tapi kemudian..

“Indra.. Indra..!” terdengar paman berbisik di telingaku, membangunkanku. Kubuka mataku pelan-pelan.
“A-apa?” tanyaku berdebar-debar.
“Mas Agus pegal-pegal nih, kamu pijitin sebentar yah!” pintanya.
“Kamu nggak kepanasan? Sini Mas Agus bukain bajunya.” Tanpa mendengar jawabanku, paman langsung melucuti pakaianku satu persatu sampai telanjang sama sepertinya. Kemudian paman merebahkan tubuhnya, tengkurap di ranjang.
“Kamu pijitin Mas Agus, yah! Kamu duduk di punggung Mas Agus aja biar gampang.” ucapnya. Kuturuti sarannya dan lalu kemudian mulai menggerak-gerakkan jariku di pundaknya.
“Iya di situ Ndra, duh enak banget!” ucapnya puas.

Iya Mas Agus enak, nah aku, orang lagi mengantuk malah disuruh mijit. Tak pelak hampir tiap menitnya aku menguap karena mengantuk. Tapi kemudian..

“Pantat Mas Agus juga pegel nih, pijit yah!” pintanya lagi.
“Iya.” jawabku singkat. Aku bergeser mundur hingga kudapat posisi terbaik untuk memijat. Dan kembalilah jari-jariku bekerja. Memijat pantatnya yang padat berisi.
“Kok nggak kerasa yah, digigit aja deh!” pintanya.
“Digigit?” tanyaku spontan.
“Iya digigit, tapi jangan keras-keras!” jelasnya.

Untuk sejenak aku terdiam. Apa? Aku harus memijat pantat Mas Agus dengan gigiku. Pantat yang berwarna lebih terang dari bagian tubuhnya yang lain itu, dengan mulutku. Namun kemudian aku tersadar kembali oleh suara Mas Agus.

“Ayo dong Ndra!” pintanya.
“I-iya.” jawabku.

Kubuka mulutku agak lebar, mendekatkan wajahku sampai akhirnya mendarat di permukaannya. Dan selanjutnya semua berjalan sesuai instruksi.

“Sambil dijilat Ndra biar licin!”
“Ah..”
“Disedot juga dong!”
“Nah.. Iya gitu!”
“Terus.. Terus Ndra..” ucapnya. Beberapa saat kemudian aku terhentak ketika secara tiba-tiba Mas Agus membalikkan tubuhnya.
“Sekarang yang ini!” katanya sambil menunjuk penisnya.

Karena aku ingin ini segera berakhir, tanpa banyak bertanya langsung saja kulakukan perintahnya. Dan instruksi-instruksi itu pun berlanjut. Aku dapat merasakan penis itu semakin lama semakin membesar. Warnanya pun yang tadinya putih kini memerah. Sampai akhirnya mulutku hanya dapat dimasuki bagian kepalanya saja. Sementara aku yang semakin mengantuk, mendengar suara desahan-desahan Mas Agus yang kian menderu. Hingga saat dimana kurasakan penisnya menyodok-nyodok masuk ke mulutku dan membanjiri isinya dengan cairan sperma Mas Agus yang hangat. Kemudian Mas Agus menarikku ke dalam dekapannya. Memelukku erat, mencium bibirku sampai lidahnya masuk dan merebut sebagian sperma yang tadi ia berikan padaku. Lalu diciuminya leherku, dielusnya tubuhku, sementara aku telah terlelap dan membisu.

Lima tahun kemudian, lima tahun sebelum hari ini Mas Agus yang sudah empat tahun tak pernah lagi berkunjung karena ditugaskan di luar kota, sore itu di hari Sabtu yang agak kelabu ia datang dengan seragam lengkapnya. Tapi kali ini ia datang tidak sendirian, ia datang bersama seorang wanita yang ia akui sebagai istrinya yang baru dinikahinya sekitar satu tahun yang lalu. Aku yang saat itu masih baru mengerti bahwa kejadian di malam dulu itu bukanlah hanya pijat-memijat biasa, merasa tidak percaya. Mungkinkah Mas Agus tidak seperti yang kupikirkan selama ini. Tapi.. aku.. aku telah telanjur ’sakit’..

Kuambil kursi itu dari tempatnya semula. Kemudian kuletakkan tepat di depan pintu. Pintu kamar dimana Mas Agus dan istrinya tidur. Sengaja aku tak tidur sampai lewat tengah malam begini hanya untuk membuktikan sesuatu. Kulihat dari celah udara yang sempit itu dan, kulihat Mas Agus di sana tepat sedang menindih tubuh istrinya. Mas agus menggerak-gerakkan penisnya keluar masuk vagina istrinya sambil tangannya mengelus-elus kedua buah dada istrinya. Sementara bibirnya sedang menggerayangi bagian leher.

Istri Mas Agus terlihat sangat menikmatinya, terlihat dari erangan-erangannya. Tapi tak lama kemudian semua berakhir, Mas Agus sudah berada di puncak dan melepaskan semua spermanya masuk ke dalam vagina istrinya. Kuletakkan kembali kursi kembali ke tempatnya. Lalu aku beranjak ke ruang keluarga dan menyalakan TV. Sendiri dalam temaram hanya ada cahaya televisi aku berniat untuk begadang sampai pagi dan mencoba untuk melupakan apa yang baru saja terjadi. Karena jawaban dari pertanyaanku sepertinya sudah terjawab langsung di mataku. Mungkin memang aku yang beranggapan salah..

“Kok belum tidur?” Tiba-tiba saja kudengar suara Mas Agus di sampingku mengagetkanku. Tapi aku diam tidak bisa menjawab. Mas Agus yang datang bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek itu membuatku menjadi gagu.
“Tolong pijitin Mas Agus, dong!” Tiba-tiba kalimat itu terdengar lagi setelah sekian lama. Tapi aku tetap diam.
“Ayo dong, sebentar aja kok!” lanjutnya.

Kemudian pelan-pelan mulai kuangkat tanganku ke atas pundaknya, lalu menyentuhnya. Tapi kemudian aku teringat akan kejadian yang baru saja kulihat. Kali ini dengan cepat kuangkat kembali tanganku dari pundaknya.

“Mas Agus, maaf Indra ngantuk, mau tidur.” ucapku sambil berlalu.

Keesokkan malamnya aku terbangun karena tak kuasa menahan rasa untuk buang air kecil. Lalu dengan sedikit berlari, aku bergegas ke kamar mandi. Kubuka pintunya dan kuperosotkan celana dengan cepat lalu CD dan, ahh.. lega sekali, seperti melepaskan beban. Setelah tetes terakhir kusiram penis dan lubang WC dengan air. Saat aku balikkan badan, kulihat Mas Agus sudah barada tepat di depan pintu. Langsung kutarik naik CD dan celanaku cepat lalu beranjak pergi.

Aku baru sampai di depan pintu kamarku ketika kurasa tangan itu menahanku dari belakang. Lalu membalikkan tubuhku. Aku tertunduk bisu. Lalu tiba-tiba ia mengangkat tubuhku, menggendongku masuk ke dalam kamarku. Setelah mengunci pintu, diturunkannya aku di tepi ranjang. Kemudian ia mengangkat wajahku yang tertunduk dan mendaratkan bibirnya tepat di bibirku.

Ciuman itu begitu lembut, perlahan tapi dapat kurasakan getarannya. Tanpa sadar tubuhku terjatuh di atas ranjang sambil terus berciuman. Lidah kami saling bertemu. Kemudian ia melepaskan pakaianku sambil menikmati ciumanku di bibirnya. Lalu ia mulai menjelajah daerah leherku, dijilatnya leher dan telingaku sampai memerah. Lalu ia bangkit dan membuka T-shirt yang dipakainya.

Setelah bajunya terlepas kuambil inisiatif untuk membuka sendiri celana yang dikenakannya juga CD-nya. Dan terlihat jelas kini apa yang sudah empat tahun tak pernah lagi kulihat. Tubuh itu masih tampak kekar. Sebuah penis berukuran besar yang teracung berwarna kemerahan dan di sekitarnya nampak bulu-bulu halus kini terpampang di depanku. Kujilati penis itu dengan lidahku dari buahnya sampai kepala penisnya. Lalu kulahap masuk ke dalam mulutku. Kugerakkan keluar masuk sambil kumainkan lidahku.

“Oh.. terus ‘Ndra!” ucapnya lembut. Kemudian ia memintaku berhenti dan melepaskan celana dan CD-ku.
“Ternyata kamu udah besar, yah!” ucapnya sambil tersenyum. Lalu dikulumnya penisku sampai memerah.
“Sekarang kamu masukin punya kamu ke sini, yah!” ucapnya sambil bergaya doggy style dan menunjuk lubang analnya. Kumasukkan penisku perlahan, pertama terasa sulit, tapi kemudian..
“Ah.. Ah.. Ah! Mas Aku mau keluar, nih!” ucapku dalam gairah. Mas Agus kemudian bangkit dan mengulum penisku hingga..
“Ah..!” erangku.

Spermaku masuk ke dalam mulutnya terus ke tenggorokannya. Tidak berhenti sampai di situ, kemudian ia baringkan tubuh lemasku di atas tubuhnya sehingga pantatku tepat berada di atas penisnya. Kemudian ia masukkan penisnya ke dalam lubangku dengan tangannya. Nikmat sekali. Sampai akhirnya Mas Agus bangkit menyemburkan semuanya di atas wajahku.

Dalam lelah dan kantuk, dengan mata sedikit terbuka kulihat Mas Agus berpakaian dan pergi meninggalkan kamarku, meninggalkan aku dalam dasar jurang yang gelap sampai hari ini..

Topics: Pemerkosaan | 9 Comments »
Sahabatku Levana

By sebastian | July 17, 2008 

Nama saya Kartika, usia 25 tahun dengan tinggi 168 cm, berat 53 kg, asli orang Bandung, kulit putih bersih. Ukuran payudara saya yang 34C termasuk lumayan besar untuk gadis seusia saya. Pekerjaan saya adalah sebagai manager operasional di sebuah perusahaan terkenal di daerah saya. Saya ingin mengeluarkan gelisah hati yang saya pendam selama ini, mudah-mudahan saya bisa berbagi dengan pembaca sekalian.

Saya di kantor mempunyai sahabat yang namanya Levana, sering saya panggil Ana. Orangya supel, dan mudah bergaul, tingginya 172 cm/53 kg, dengan kulit putih mulus, maklum orang Menado asli, 34B ukuran payudaranya. Saya mempunyai kelainan ini sejak masih gadis pada saat tinggal bersama kakak saya, Mbak Erni namanya.

Kapan-kapan saya ceritakan sejarah lesbian saya, tapi saya juga suka cowok lho sama seperti gadis-gadis lain. Hanya saja hampir tujuh puluh persen saya menyenangi cewek, saya tidak mengerti mengapa saya begini, mungkin suatu saat saya bisa sembuh total ya?! Saya sering jalan bersama Ana kalau ada undangan karena saya belum ada pasangan, banyak sih cowok yang naksir, cuma saya masih enggan saja untuk berpacaran. Saya ingat betul awalnya yaitu pada saat bulan Agustus 2004, sehabis pulang kantor.

*****

“Ka, sini sebentar” panggil Ana pada saya sambil mendekatkan Mercynya.
“Ada apa Na?” tanya saya heran pada Ana.
“Boleh nggak minta tolong?”
“Tolong apa?”
“Itu lho, rumah saya khan sedang direnovasi..”
“Terus?”
“Mmh, boleh numpang nginep nggak di rumahmu?” tanya Ana ragu-ragu.
“Alaa, gitu saja nanya, boleh dong, sekarang?”
“Iya, boleh khan?” tanya Ana sekali lagi meyakinkan dirinya sendiri.
“Udah, nggak usah banyak omong, ayo jalan” perintah saya sambil tersenyum.
“Okey, trim’s ya”

Maka setelah Ana mengambil baju sekedarnya, kami berdua meluncur ke rumah saya yang memang agak jauh dari kantor. Rumah saya mempunyai empat kamar, satu kamar untuk tamu dan kamar saya di tengah, saya tinggal sendiri karena orang tua saya tinggal di Surabaya.

“Na, ini kamarmu ya” kata saya sambil menunjukkan sebuah kamar padanya di ujung depan.
“Trim’s ya” jawabnya sambil masuk melihat-lihat kamar.
“Kutinggal dulu”
“Ya..” jawabnya sambil lalu.

Saya kemudian menuju kamar untuk mandi dan berganti baju, soalnya gerah sejak tadi. Sedang asyik-asyiknya saya memilih BH, tiba-tiba Ana masuk ke kamar.

“Eh.. Maaf ka, lagi pake baju ya?” katanya kaget melihatku masih memakai celana dalam berwarna merah dan belum mengenakan BH sama sekali.
“Oh Ana, masuk Na, nggak apa-apa kok” jawab saya sambil tersenyum melihatnya yang masih memandangi payudara saya yang termasuk besar dan montok.
“Wah, badanmu seksi juga ya?” ujarnya.
“Tentu saja, habis saya rajin senam sich”
“Oh ya, ada film bagus nich, nonton yuk” ajak Ana sambil menggandeng saya untuk menonton TV di ruang tengah.
“Bentar Na, kuganti baju dulu ya” jawabku sambil memakai BH dan kaos longgar serta celana pendek.
“Kutunggu ya..”
“Ya”. Kemudian Levana sudah duduk di depan TV sambil makan camilan, sedang saya masih sibuk membereskan baju yang berserakan.

Malam itu Ana mengenakan daster kuning hingga kelihatan kulit lengannya yang putih mulus, kadang-kadang karena duduk kami yang mepet, Ana dengan tak sengaja menyenggol payudara saya hingga perasaan saya jadi bertambah aneh. Mungkin karena acara TV yang membosankan, saya jadi tak tertarik lagi, saya lebih tertarik memperhatikan Ana saja. Ternyata Ana yang memakai daster itu, sudah tidak memakai BH lagi hingga tonjolan payudaranya kelihatan mencuat ke atas, mungkin karena kami sama-sama perempuan, jadi Ana tidak malu-malu lagi, bahkan kadang-kadang kakinya dinaikkan ke meja hingga bawahan dasternya jadi tersingkap dan memperlihatkan celana dalamnya yang berwarna putih.

Perasaan saya jadi lain hingga saya memutuskan untuk ke kamar dan berganti baju dengan daster tanpa memakai BH dan celana dalam juga, supaya bertambah nyaman kalau berdekatan dengan Levana. Sungguh Levana itu gadis yang cantik seperti artis mandarin. Saya kembali ke ruang tamu dan membawa kaset DVD untuk saya tonton bersama Ana, siapa tahu saja Levana tertarik dengan filmnya dan ingin mmh..

“Na, ganti ama DVD ya?”
“Film apaan tuch?”
“Ini, film romantis dari Jepang, pengin liat nggak?”
“Ya, bolehlah, abis acaranya nggak ada yang menarik sich”
“Okey, duduk dekat sini” pinta saya pada Ana untuk duduk di sofa agar nyaman menonton film itu.

Sebetulnya sich, itu film triple X dari jepang mengenai seorang gadis yang mencintai guru wanitanya lalu mereka bersetubuh dan bercinta dengan gaya yang romantis dengan berbagai macam gaya. Volume TV dan AC saya perbesar hingga Ana mendekat dan mepet dengan saya. Untung rumah sudah sepi karena pembantu sudah pulang semua dan lagi rumah saya besar, jadi volume suara TV yang besar itu tidak kedengaran lagi dari luar.

“Film BF ya?” tanya Ana tanpa menoleh pada saya.
“Tapi bagus lho, untuk pelajaran sex”
“Bagus, sich bagus, tapi saya jadi pengin nich” gumam Ana tak jelas karena napasnya yang makin berat dan diselingi suara orang bercinta dari TV yang makin kencang.
“Gimana kalau kupegang payudaramu” usulku.
“Hush, ngaco kamu Tika, kita ini sama-sama cewek tau” jawabnya sambil monyong, namun itu justru menambah gairah saya semakin tinggi.
“Daripada kamu megang sendiri, hayoo” jawab saya tak mau kalah sambil meraba payudaranya.
“Jangan, Tika.. Jangan..” teriaknya keras karena kaget payudaranya saya pegang. Namun teriakannya tak membuat saya jera, bahkan telinganya yang sensitif saya cium dengan lembut.
“Kurang ajar kamu, sst..” tolaknya lemah dengan mendesis.
“Mmh..”

Pergumulan saya dengan Ana berlangsung seru, hingga beberapa menit Levana masih memberontak, tetapi karena gairahnya sudah naik dan ditambah lagi dengan ciuman dan remasan saya pada daerah sensitifnya, akhirnya Ana menyerah juga. Bahkan dengan sigap membalas mencium bibir saya dengan ganas sambil meraba vagina saya yang sudah mulai basah sejak tadi.

“Sst.. Mmh.. Tunggu..” potong saya menghentikan ciuman dan serangannya Ana.
“Hahh, ada apa Ka?”
“Buka dastermu..” pinta saya untuknya agar membuka daster, sementara saya juga telah membuka dasterku sendiri hingga bugil.
“Wah, susumu besar juga ya?” kata Levana kagum melihat payudara saya yang sudah tegak, sambil juga melepaskan dasternya, bahkan celana dalamnya pun ikut dilepaskan juga hingga kami menjadi sama-sama bugil.

Dan kami pun kembali saling berciuman di sofa tanpa mempedulikan film jepang itu. Saya mengambil inisiatif untuk memulai mencium payudaranya.

“Sst.. Sst..”
“Mmh.. gantian..” rintih Ana karena tidak dapat menahan ciuman dan jilatan lidah saya pada payudaranya.

Maka saya pun berganti posisi dengan Ana yang menjilat payudara saya dengan semangat hingga vagina saya juga ikut dibelai, bahkan jari-jarinya yang lentik keluar masuk ke dalam lubang vagina saya dengan cepat hingga saya mengalami orgasme yang pertama.

“Mmh.. Enak.. Na, cepetan.. Sst..” rintih saya karena tak tahan lagi dengan permainan Ana yang begitu hebat, bahkan Ana sekarang menjilat vagina saya dengan liar hingga beberapa menit, saya semakin mendorong vagina saya ke arah mulutnya yang sedang menghisap bagian dalam.
“Sstss.. pinggirnya.. ssts.. Ya.. yang i.. tu..” rintih saya terpatah-patah.

Tiba-tiba Levana menghentikan permainannya..

“Ada apa Na?”
“Kita coba yang seperti di film, mau khan?” usulnya.
“Boleh saja..” jawab saya senang karena memang senang dengan gaya enam sembilan.

Gaya enam sembilan itu maksudnya saya yang berada di posisi atas menghadap Levana yang berada di posisi bawah dengan saling menjilat vagina masing-masing, bahkan saking enaknya hingga kepala saya terjepit oleh Levana yang rupanya juga telah mengalami orgasme yang pertama. Kami melakukan pergumulan itu di sofa hingga dua jam dan rupanya Levana pun puas atas permainan itu.

“Hahh, lega rasanya..”
“Gimana, enak nggak?”
“Enak juga ya”
“Mau lagi nggak?”
“Mau dong kalau caranya gitu” jawab Ana manja sambil mencium bibir saya gemas.

Malam itu saya dan Levana menghabiskan permainan yang seru itu di kamar, bahkan Ana tak henti-hentinya meremas payudara saya dengan gemas, kadang-kadang saya puaskan Levana dengan alat kelamin pria plastik, tentu saja alatnya yang bisa bergetar hingga itu menambah nikmat percintaan saya dengan Ana. Beberapa ronde kami lalui hingga pagi, juga di kamar mandi.

*****

Keesokannya, seperti biasa saya sudah bersiap ke kantor dengan Levana.

“Ayo Na, udah siap belum?”
“Udah boss, ayo” gandeng Ana mesra sambil mencium bibir saya lembut.
“Hush, nanti dilihat orang lho”
“Iya ya..”

Maka sejak itu, saya dan Levana sering bercinta di rumahnya atau rumah saya, bahkan pernah beberapa kali kami bercinta di dalam mobil. Pada saat hari libur, Levana mengajak saya dan beberapa temannya ikut berdarmawisata ke pulau Bali dan Lombok. Salah satu di antaranya bernama Fifiani yang orang Malang.

“Tika, kamu ikut tour besok nggak?” tanya Levana.
“Tentu dong, yang ke Bali dan Lombok khan?” jawabku.
“Iya dong, eh.. kenalin nich, teman saya” ujar Levana memperkenalkan temannya.
“Fifiani” katanya memperkenalkan diri.
“Kartika Sari” jawab saya sambil menjabat tangannya yang kuning langsat itu.
“Ayo Na, sampai besok ya” jawab Levana menggandeng Fifiani.

Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, saya dengan beberapa teman kantor jadi berwisata ke pulau Bali dan Lombok, juga ada Fifiani dan Levana. Dari obrolan kami, saya ketahui bahwa Fifiani itu umurnya baru 23 tahun, 172 cm/53 cm, dengan payudara 34C, orangnya cukup ramah dan sopan. Levana pernah bercerita pada saya bahwa Fifiani adalah seorang lesbian sejati, sudah pernah beberapa kali pacaran, namun kandas di jalan hingga hatinya hancur lebur.

“Ana, sini bentar Na” panggil saya pada Ana.
“Ada apa Tik”
“Tukeran duduk ya, Fifiani di sini dan tas ini di tempatmu, gimana?” usulku.
“Enak saja, kapan lagi kesempatan gini datang”
“Please dong, khan kamu udah lama kenal ama Fifiani”
“Iya dech, cuman aku boleh liat dong di sebelah..” canda Ana sambil mencolek payudara saya dengan gemas.

Akhirnya dalam bis itu, saya yang mulanya duduk di belakang dengan tas besar entah siapa yang punya, dapat kesempatan duduk dengan Fifiani yang cantik. Levana tak ketinggalan duduk di sebelah dengan tas besar yang sudah saya pindahkan. Fifiani dalam perjalanan itu memakai rok jins hitam dengan kaos merah mudanya, sungguh serasi dengan bentuk tubuhnya yang proporsional.

Rupanya Fifiani atau yang biasa saya panggil dengan Fifi senang curhat dengan saya, bahkan beberapa kali matanya mengarah pada payudara dan bawah rok jins biru saya yang agak naik ke atas, mungkin celana dalam saya yang berwarna putih polos kelihatan, tapi saya cuek saja. Bahkan saya sengaja beberapa kali menyingkap rok saya hingga paha saya yang putih kelihatan dengan jelas hingga Fifi salah tingkah memperhatikan rok saya.

Malam itu kami sudah melewati kota Probolinggo, saya lihat teman-teman sudah pada tidur karena kelelahan, sementara Levana memperhatikan saya sambil mengedipkan matanya beberapa kali. Di bis wisata itu yang duduk di belakang cuma saya, Levana, seorang teman lain dan beberapa barang bawaan yang menumpuk, sementara yang lain duduk di depan, tentu saja ada yang berpasangan.

Sementara itu Fifi rupanya sudah tertidur pulas dengan kepalanya bersandar pada bahu kanan saya hingga perasaan saya jadi tak enak karena napasnya yang harum dan lembut tercium oleh saya, di samping itu posisi duduknya yang sungguh membuat dada saya berdebar-debar karena kakinya menopang pada paha saya. Dengan perlahan saya menyelimutinya hingga kami berdua tertutup oleh selimut hingga cuma tinggal kepala saja yang kelihatan. Tangan kanan Fifi saya pegang dan saya di tempatkan payudara saya. tiba-tiba Fifi membuka matanya dan menatap saya tajam.

“Eh.. Eh.. Fi.. Belum tidur ya?” tanya saya tergagap-gagap karena kaget melihatnya bangun tiba-tiba.
“Iya Mbak, belum ngantuk nich” jawabnya tersenyum ramah dan tidak melepaskan tangannya dari payudara saya, padahal saya sudah horny.
“Jangan panggil Mbak dong, panggil Tika saja ya”
“Iya dech, Tika udah punya pacar belum?” tanyanya.
“Belum, emangnya kenapa?”
“Masak, cewek secantik kamu belum punya pacar!”
“Emang belum, kamu sendiri?”
“Udah pernah sich, cuma sering putus, lebih suka sahabatan ama cewek”
“Oh gitu ya..”
“Ka, boleh nggak Fifi peluk?” pintanya.
“Boleh saja, terserah Fifi dech” gumam saya pelan karena Fifi dengan pelan meremas payudara saya dengan gemas, bahkan sudah masuk dalam BH saya dan meremasnya dengan lembut.
“Sstss.. Fi..” desisku.
“Gimana Ka?” tanya Fifi yang berusaha membuka BH saya.
“Enak Fi.. Sstss.. Saya boleh..” belum sempat Fifi menjawab, tangan saya sudah masuk ke dalam roknya dan membelai vaginanya yang masih memakai celana dalam.
“Sst.. Ka.. Ayo dong..” ajak Fifi menuntun tangan saya untuk masuk lebih dalam dan menyentuh vaginanya.

Akhirnya saya dan Fifi saling meremas payudara dan menyentuh vagina hingga Fifi duluan orgasme karena tak tahan dengan jari-jari saya yang keluar masuk vaginanya dengan cepat. Levana yang dari tadi memperhatikan saya, juga ikut-ikutan merogoh payudaranya sendiri. Belum sempat saya orgasme, bis itu sampai Denpasar, dan kami memesan kamar masing-masing untuk esok paginya kami lanjutkan dengan pesiar keliling pulau Bali.

“Gimana nich Fi, saya khan belum..”
“Tenang saja Ka, gimana kalau kita tidur berdua?” jawab Fifi santai karena tahu bahwa saya belum puas.
“Iya dech”
“Saya boleh ikut nggak, boleh ya..” rengek Levana tiba-tiba mendekati kami.
“Boleh saja, gimana Fi, Ana boleh ikut nggak!?” tanya saya pada Fifi.
“Okey, pasti tambah asyik ya” jawabnya sambil mengedipkan mata pada saya.

Jadilah saya memesan kamar bertiga dan setelah kami diberi pengarahan dari pemandu wisata agar bangun jam 08.00, maka saya langsung masuk kamar. Setibanya di kamar dan menaruh tas, saya peluk Fifi dan menghimpitnya ke tembok hingga payudara saya yang montok menempel ketat pada payudaranya.

“Udah nggak sabar nich yee..” goda Ana sambil memeluk saya juga dari belakang dan langsung mencium leher saya dengan ganas.
“Fi.. Kamu..”
“Udah ka, ayo kita terusin yang tadi” jawab Fifi sambil melumat bibir saya dengan ganas.
“Mmh..”

Fifi yang mencium saya dengan ganas itu juga tak kalah gesitnya mencoba kembali membuka BH saya yang akhirnya terlepas juga ke bawah, tangannya dengan terampil kembali meremas-remas payudara saya, di samping itu Ana berusaha melepas rok jins dan celana dalam saya hingga saya yang pertama-tama bugil duluan. Entah siapa yang memulai duluan, tahu-tahu saya sudah berada di tempat tidur dengan payudara saya yang dijilati Fifi dengan lincah, bahkan Ana pun juga sudah bugil dan sekarang sedang menjilati vagina saya dengan lahap.

“Sst.. Uuh.. Mmh..” rintih saya keras karena tak tahan diperlakukan oleh dua orang wanita cantik yang menjilati bagian sensitif saya.

Beberapa menit kemudian saya pun tak tahan dan mengalami orgasme yang pertama. Fifi juga minta ganti posisi di bawah untuk kami kerjai yang saya bagi tugas dengan Ana, saya bagian menjilat vaginanya dan Ana bagian payudara dan bibirnya. Beberapa menit permainan itu kami lanjutkan dengan cara saling berganti posisi.

“Ka.. Sstss.. Geli.. Ahh.. Ssts”
“Ssts.. Mmh.. Jilat yang itu.. Ya..” rintih Fifi yang sedang berjongkok karena vaginanya dijilat oleh Ana.
“Sstss.. Go.. Yang.. Na.. Sstss..” desis saya meminta Ana yang vaginanya sedang saya gesek-gesekkan dengan vagina saya untuk menggoyang pinggulnya lebih keras.

Permainan demi permainan kami lewati hingga akhirnya saya meminta Fifi memasang penis plastik yang bisa bergetar itu pada vaginanya. Bentuknya seperti celana dalam yang di tengahnya ada penis plastik.

“Sstss.. Pelan.. Fi.. Argh..” jerit saya karena Fifi memasukkan penis buatan itu terlalu cepat pada vagina saya.
“Mmh.. Gimana Ka, enak..?”
“Ssts.. Ya, ayo..” perintah saya setelah Fifi memasukkan penis plastik itu dan mendorongnya keluar masuk hingga saya merasa nikmat dan menjepit penis plastik itu dengan keras hingga dinding vagina saya berdenyut-denyut.
“Sstt.. Ayo.. Fi.. Lebih cepat lagi..” pintaku.
“Sstss.. Mmh.. Sstss.. Argkk..” jerit saya melengking karena cepatnya Fifi memasukkan penis plastik itu hingga saya orgasme berulang-ulang yang ditambah lagi rangsangan pada payudara saya yang dijilat dan dikulum oleh Levana sambil tangannya tak henti-hentinya juga meremas payudara Fifi. Vagina saya mengeluarkan lendir berwarna putih, sungguh banyak sekali.
“Lega rasanya, nikmat juga pake penis buatan..”
“Enak nggak rasanya Ka?” tanya Levana pada saya dengan mimik heran.
“Lho, kamu belum pernah toh An?” tanyaku.
“Belum tuch, biasanya sich cuma ama cewek saja”
“Nikmat kok rasanya, saya sering pake kalau lagi nggak ada pasangan” jawab Fifi sambil membersihkan penis plastik itu untuk kami gunakan lagi.
“Gimana An, kamu coba dech, sini biar kucobain buat kamu..” bujukku pada Levana yang kelihatan masih ingin mencoba penis buatan ini selain gaya enam sembilan favorit Levana dan saya.

Malam itu kami bertiga menguras habis energi untuk bercinta hingga ke kamar mandi, bahkan dengan senangnya saya bisa memandikan Fifi yang paling muda di antara kami bertiga.

“Pelan-pelan ya masukinnya” pinta Levana cemas.
“Tenang saja, nggak sakit kok” kata saya meyakinkan Levana yang melihat saya sudah memasang kan celana dalam berpenis itu di kemaluan saya.

Permukaan penis plastik itu ada bintik-bintiknya yang tidak beraturan dan saya juga tidak begitu mengerti apa manfaatnya, mungkin saja untuk menambah rasa nikmat jika bersentuhan dengan dinding vagina.

“Sst.. Mmh.. Sstss.. Aduh..” jerit Ana pelan karena penis itu terpeleset keluar bibir vaginanya.

Akhirnya seluruh penis plastik itu masuk ke dalam vagina Ana yang masih sempit itu, mungkin Levana masih perawan karena beberapa saat kemudian sedikit keluar darah. Memang selama saya bersahabat dengan Levana, Ana jarang bergaul dengan teman pria, kebanyakan teman wanita seperti saya dan yang lainnya. Sedangkan Fifi pergaulannya luas termasuk dengan pria hingga vagina Fifi sudah agak melebar dibandingkan dengan vagina saya dan Levana.

“Na, kamu masih perawan ya?” tanya saya serius pada Levana.
“Eh.. Iya.. Berarti kamu yang pertama melakukannya, Sayang” jawabnya mesra sambil mencium saya dengan lembut.
“Mmh..”

Saya berusaha maju mundur mengikuti aksi seperti yang di film BF, para pria memajumundurkan penisnya ke dalam vagina si wanita. Sambil memasukkan penis buatan, saya meremas-remas payudara Ana.

“Sstss.. Ter.. Us.. Sstss..”
“Sst.. Fi.. Ayo..” ajak Ana sambil mengajak Fifi untuk berciuman dengan saya.
“Sstss.. Sstss.. Mmh..”

Sambil berciuman dengan Fifi, saya memasukkan penis plastik itu keluar masuk dengan irama yang teratur hingga pantat Levana bergoyang pelan. Rupanya Ana menikmati permainan penis plastik itu hingga meminta saya agar cepat menaikkan tempo keluar masuknya penis plastik itu dalam vaginanya.

“Ayo fi, isap puting saya”
“Iya, Ka..”
“Sstss.. Mmh..” rintih saya agak keras karena Fifi bukan saja mengisap puting saya, bahkan menggigit puting saya dengan gemas hingga saya merasa nikmat dan mendorong penis plastik itu semakin cepat saja.
“Sstss.. Sstss.. Sstss.. Bagi.. An.. Sstss.. Itu..” desis Ana mengarahkan saya untuk menyodokkan penis itu pada bagian lubang vaginanya.

Permainan dengan Ana membutuhkan waktu yang lama karena ia menahan irama birahinya hingga pinggul saya pegal-pegal, kemudian setelah saya lelah, saya menyuruh Fifi untuk ganti menindih Levana dengan penis plastik itu.

“Fi, gantian ya, saya capek nich”
“Ya, ayo sini” jawab Fifi sambil memasang penis itu dan langsung memasukkannya dalam vagina Levana dan mereka pun bermain dengan bernafsu hingga Fifi melahap bibir Ana dengan ganas.

Saya pun menyelipkan tangan di antara payudara mereka dan meremas-remasnya supaya Ana cepat orgasme. Dan akhirnya Levana melepaskan ciuman Fifi dan memintanya agar lebih cepat.

“Sstss.. Sstss.. Sstss.. Ayo.. Fi.. Cepetan..”
“Saya.. Sstss.. Mau.. Keluar.. Sstss..” rintih Levana hingga Fifi semakin mendorong dengan cepat penis plastik itu hingga Ana bergerak-gerak liar dan menjepit Fifi dengan kuat.
“Sstss.. Arghh..” jerit Levana melengking karena cairan putihnya akhirnya keluar juga untuk terakhir kalinya.

*****

Pada jam empat pagi baru kami tidur bersama, tentu saja dengan keadaan bugil dan kepuasan yang tiada tara. Dan kembali tour kami lanjutkan untuk wisata ke pantai Sanur dan pantai Kuta.

Terima kasih pada Bapak Hartono atas tournya, juga sahabatku Fifi dan Levana atas pengalamannya bersama saya, kasih komentar ya atas cerita saya ini, kalau ada yang kurang, konfirmasikan saja ke email saya.

Pembaca cowok dan cewek bisa curhat atau kenalan pada saya melalui email saya atau memberikan tanggapannya mengenai kelainan saya ini, asalkan disertai foto, terutama bagi cewek-cewek baik yang seksi maupun tidak seksi hi.. hi.. hi.., pasti kubalas dengan foto bugil saya, eh maksud saya foto seksi saya dan kalau ada yang mengajak jalan bersama, saya ingin ikut dong.

Jika tanpa foto, maaf saja, saya tidak bisa membalas surat Anda. Dan buat sohib saya Fifi, Vita, Samantha, Aulia, Febri, dan Levana, salam sayang selalu dan kangen, jangan lupa ya baca cerita saya ini dan kapan nih kita mandi bareng lagi, pasti asyik deh. Sekarang saya lagi fitness untuk mengencangkan payudara lho.

Topics: Sesama Wanita | 18 Comments »
Nikmatnya ABG SMU Lainnya

By sebastian | July 17, 2008 

Masih ingat saya pembaca?, ya, saya Andi yang pernah mengirimkan cerita ‘Nikmatnya ABG SMU’ dan ‘Rental Internet Favoritku’ di 17Tahun.com ini. Saya mohon maaf kepada pembaca yang sebelumnya banyak mengirim email pada saya menanyakan tentang alamat email dan nomor HP wanita dalam cerita saya yang lalu, tidak bisa saya berikan karena mereka meminta dirahasiakan identitas pribadinya.

Khusus bagi cewek-cewek yang akan saya temani pesiar ke pulau Lombok, harap mengirimkan foto supaya saya tidak bingung mencari dan bisa menjemput anda di pelabuhan Lembar atau bandara Selaparang, atau terminal Mandalika Sweta. Tidak perlu malu dengan diri Anda, cantik atau jelek atau langsing atau gendut itu relatif, sebisa mungkin saya akan mengantar anda pesiar keliling pulau Lombok. Sesudahnya saya ucapkan terima kasih kepada pengasuh/redaksi website 17Tahun.com.

*****

Bulan November 2004 saya mendapat kiriman email dari beberapa cewek yang membaca cerita saya, yang salah satunya dari Amelia. Amelia ternyata sekota dengan saya di pulau Lombok, usianya baru 18 tahun, pelajar Sekolah Menengah Umum yang terkenal di kota saya. Amelia atau panggilannya Lia, gadis berkulit putih, tinggi 187 cm, berat 52 kg dan ukuran payudaranya saya perkirakan 34B, betul-betul anak SMU yang baru berkembang.

Awal perkenalan saya dengan Lia, kami janji bertemu di rental internet favorit saya dekat mall.

“Hallo.. Om yang namanya Andi?” tanya seorang gadis SMU pada saya.
“Iya.. Amelia ya?” tanya saya kembali padanya sambil memperhatikan wajahnya yang manis, rambut hitam lurus sebahu dan masih memakai seragam SMU-nya.
“Lagi ngapain Om?” tanyanya sambil duduk di kursi sebelah saya.
“Liat email yang masuk nich, panggil aja Andi ya” pintaku.
“Ya, panggil juga saya dengan Lia” jawabnya sambil mepet melihat ke arah monitor komputer.
“Okey, Lia bolos sekolah ya, jangan keserinngan bolos loh” nasehatku.
“Enggak kok, wong nggak ada guru, lagi ada rapat tuch”

Wangi juga bau parfumnya, mana rok abu-abunya span lagi, si boy jadi bangkit nich. Wah, kalo bisa making love sama Lia, asyik juga.. Huh dasar lagi mumet nich otak, maunya si boy saja.

“Ndi, Lia boleh tanya nggak?”
“Boleh aja, andi itu orangnya terbuka kok en’ fair, mau nanya apa?”
“Kalo tamu ceweknya Andi ngajak jalan-jalan, bayar nggak?”
“Oh itu, ya terserah ceweknya, pokoknya keliling Lombok ditanggung senang dech”
“Masalah hotel, akomodasi dan lain-lain ditanggung tamu, gitu”
“Kalo making love gimana?” tanya Lia antusias.
“Kalo making love sich, terserah tamunya, kalo suka sama Andi, ayo aja”
“Biasanya Andi selama ini dibayar berapa sich?”
“Ya, kira-kira lima ratus ribu sampai satu jutaan”
“Itu berapa hari?”
“Terserah tamunya aja mau berapa hari, okey, puas?”
“Mmh..” guman Lia seperti ingin menanyakan sesuatu tapi ragu-ragu.
“Kalo Lia udah pernah dicium belum atau udah pernah making love?” tanyaku.
“Ih, si Om nanyanya gitu”
“Ah, nggak usah malu sama Andi, ceritain aja”
“Belum sich Ndi, cuma kalo nonton BF sering”
“Jangan ditonton aja, praktek dong sama pacar” tantang saya sambil menepuk pundaknya.
“Pacarnya Lia itu agak aneh kok”
“Gimana kalo praktek sama Andi, ditanggung senang dan tidak bakalan hamil”
“Hush, jangan aneh-aneh Ndi, Lia udah punya pacar lho”
“Nggak aneh kok, kalo praktek pacar-pacaran” rayu saya, sepertinnya ada peluang nich. Saya harus merayunya supaya Lia tidak ragu-ragu lagi.
“Iya sich, tapi..” jawabnya ragu-ragu.

Setelah selesai membalas email yang masuk, saya berencana mengajak Lia ke pantai Senggigi, siapa tahu ada kesempatan, ya nggak pembaca. Ternyata Lia itu tinggal bersama ibunya yang masih berusia 47 tahun dan suaminya tugas keluar pulau selama beberapa bulan.

“Mau nggak ke pantai jalan-jalan, tadi Lia naik apa?”
“Naik mobil, pake mobil Lia aja” ajaknya bersemangat sambil menggandeng tangan saya seperti Om dan keponakannya.

Ternyata mobilnya memakai kaca rayban gelap dan ber-AC lagi, jadi siang itu kami meluncur ke pantai senggigi dan sebelumnya kami membeli beberapa camilan dan saya juga membeli kondom, biasa.. he.. he..

Lia menjalankan mobil dengan santai, tapi saya jadi tegang terutama si boy dan bukan mobilnya yang jalan santai yang membuat saya tegang, rok abu-abunya itu lho. Sudah span, pas duduk dalam mobil otomatis bertambah pendek saja hingga memperlihatkan setengah bagian pahanya yang putih mulus dan masih kencang.

“Eh, Ndi kok bengong, ngelamun jorok ya?”
“Eh.. Eh.. Nggak juga” jawab saya tergagap-gagap.
“Terus kenapa liatin pahanya Lia terus”
“Badanmu itu bagus kok, rajin fitnes ya?”
“Pasti, supaya badan Lia tetap fit dan seksi. Gimana, seksi nggak?” tanyanya tersenyum.
“Seksi bo! Eh Lia parkir aja yang di pojok tuch” tunjukku pada sebuah pojokan, agak menjauh dari jalan raya dan terlindungi oleh pepohonan, asyik nih siapa tahu bisa indehoy.
“Bagus juga tuch tempatnya” jawab Lia setuju sambil memarkirkan mobilnya hingga pas dengan lebatnya pepohonan, yang kalau dari jalan raya tidak kelihatan dan juga tempatnya sepi, jauh dari pemukiman dan lalu lalang orang, paling-paling orang yang berjalan di pantai, itupun agak samar-samar.

Mudah-mudahan pembaca tidak bingung membayangkan ilustrasi tempat yang saya ceritakan. Setelah Lia parkir, kami saling curhat tentang masalah pribadi Lia yang belum pernah making love dan ibunya yang sering kesepian ditinggal suaminya pergi.

“Ngomongnya nggak enak ya kalo kita berjauhan begini”
“Maksud Andi..”
“Lia duduk aja dekat Andi”
“Tapi kursi itu kan cuma satu”
“Ayo dong Lia, duduk sini kupangku” rayu saya sambil menarik tangan kanannya.
“Malu ah, dilihat orang” jawabnya ragu-ragu sambil melihat ke arah pantai.
“Berarti kalau nggak ada orang nggak malu dong” ujarku sambil menarik tangannya agar mendekat pada saya.
“Ya.. Nggak gitu” jawabnya ragu-ragu.
“Saya udah jinak kok apalagi si boy ini paling jinak” goda saya lagi sambil menunjuk kontol saya yang sudah agak menggembung.
“Ih jorok ih” jawabnya tertawa pelan.
“Mau nggak?”
“Emm.. Bagaimana ya”
“Mau dech..” dan akhirnya dengan paksaan sedikit dan si Lia yang ragu-ragu untuk duduk, saya berhasil menariknya bahkan Lia duduk dengan sedikit ragu.

Saya pangku Lia sambil melihat kembali ke arah pantai. Posisi Lia yang saya pangku menyamping hingga kalau melihat ke pantai agak menoleh sedikit. Posisi itu sungguh enak dan kelihatan si Lia juga menikmatinya, kelihatan dari tangan kanannya yang melingkar pada bahu saya.

“Oh ya, Andi mau nanya hal pribadi, boleh nggak?”
“Boleh aja, Lia itu orangnya terbuka kok” jawabnya sambil menggeser pantatnya supaya tidak terlalu merosot. Wah si boy saya jadi berdiri gara-gara si Lia memperbaiki posisi duduknya hingga pantatnya yang semok semakin mepet sama si boy. Coba pembaca bayangkan seperti posisi saya saat ditemani cewek SMU berumur 18 tahun yang bongsor dan seksi, pasti si boy mau berontak keluar, so pasti coy.

“Lia pernah nggak making love?”
“Mmh.. Gimana ya” jawab Lia ragu-ragu sambil menggigit jari kelingking tangan kirinya.
“Ceritain dong..” bujuk saya sambil mengelus pahanya yang masih terbungkus rok abu-abunya yang mini.

Lumayanlah sebagai permulaan pemanasan, ini kesempatan kalau Lia mau making love sama saya dan kalau tidak mau paling ditolak atau ditampar atau ditinggalkan, tapi dari perasaan saya sih, sepertinya mau.

“Pernah sih sama pacar, tapi itu dulu sebelum putus”
“Kok putus, kenapa emangnya?” tanyaku sambil tangan kiri saya memegang pinggangnya yang langsing.
“Sebetulnya Lia sayang sama dia, kalau cuma making love sich tidak apa-apa”
“Yang penting pake kondom supaya aman”
“Terus apa masalahnya?”
“Ya itu, making lovenya agak aneh, masak Lia diikat dulu”
“Wah, itu sich namanya ada kelainan namanya, harusnya dengan lembut”
“Oh ya, Andi kalau making love sama tamunya secara lembut ya”
“Tentu saja, maka banyak cewek yang senang dengan cara yang romantis dan lembut”
“Asyik dong”
“Mau nyobain nggak?” tantang saya sambil mengelus tangan kirinya yang ternyata sangat halus.
“Wuhh.. Maunya tuch” jawab Lia mencibirkan bibirnya yang seksi.
“Pegang aja boleh nggak ya?” tanya saya mengiba dan tangan kanan saya mulai mengelus-ngelus pahanya yang masih terbungkus seragam sekolahnya dengan lembut.
“Emh.. Gimana ya.. Dikit aja ya” jawab Lia mengejutkan saya yang tadinya cuma bercanda, eh tidak tahunya dapat durian runtuh.
“Lia, mau bagian mana dulu?” goda saya sambil mengelus punggungnya yang halus.
“Ih genit ah..” candanya manja.

Saya naikkan tangan kanan saya mencoba menjamah payudara kirinya yang masih terbungkus seragam sekolahnya dan kelihatannya tidak ada penolakan dari Lia. Dengan perlahan lehernya saya cium perlahan dan jamahan tangan saya berubah menjadi remasan supaya membangkitkan gairahnya. Ternyata Lia adalah tipe cewek yang libidonya cepat naik.

“Geli.. Ndi..” rintihnya pelan, tangan kirinya membantu tangan kanan saya untuk lebih aktif meremas payudara kiri dan kanannya secara bergantian. Lehernya yang putih saya cium dan jilat semakin cepat.
“Sst.. pe.. lan.. Ndi..”

Setelah beberapa menit, tiba-tiba Lia menurunkan tangan saya dan tangannya dengan terampil melepas tiga kancing atas bajunya serta mengarahkan tangan saya masuk ke dalam baju seragam SMU-nya dan tangan kirinya mengusap pipi saya. Tangan kananku yang sudah separuh masuk baju seragamnya langsung masuk juga dalam BH-nya yang ternyata berwarna putih polos. Gundukan payudaranya ternyata sudah keras dan tanpa menunggu aba-aba saya remas payudaranya dengan perlahan, kadang-kadang saya pelintir puting susunya.

“Ndi.. Sst.. Mmh.. Yang ki.. ri.. sst..” rintihnya pelan takut kedengaran.
“Lia, boleh nggak saya ci..” belum sempat habis pertanyaan saya, Lia sudah mencium saya dengan lembut yang kemudian saya balas ciumannya.

Semakin lama lidah saya mencari lidah Lia dan kami pun berciuman dengan mesra, bahkan saling menjilat bibir masing-masing. Sambil berciuman, kancing baju atas seragam Lia yang tersisa itu pun langsung saya lepas hingga tampaklah payudaranya dengan jelas. Kembali saya cium payudaranya. Selama beberapa menit berciuman, kuluman dan hisapan pada putingnya membikin Lia bertambah merintih dan mendesis, untung saja pada saat itu masih sepi dan bukan hari libur atau hari minggu.

“Mmh.. gan.. ti.. sst.. kiri.. sstt..” rintih Lia memberi aba-aba sambil tangan meraih kepala saya dan menggeser serta menekan pada payudaranya.
“Ter.. Us.. Sst.. Ndi..”

Tangan kanan saya yang sedang berada di pusarnya turun merayap masuk ke dalam rok abu-abunya dan mengelus vaginanya yang masih terbungkus CD searah jarum jam.

“Sst.. Terus.. Ndi” rintih Lia yang ikut membantu menyingkapkan rok abu-abu SMU-nya ke atas hingga pantatnya yang putih menyentuh paha saya yang masih terbungkus celana jins.

Setelah beberapa saat, saya masukkan tangan kanan ke dalam CD putihnya yang ternyata ditumbuhi bulu halus yang terawat rapi dan saya usap beberapa menit.

“Sst.. Ndi.. Ge.. Li.. Mmh..” gumam Lia pelan sambil matanya menatap setengah sayu. Gerakan jari tangan saya keluar masukkan ke dalam vaginanya yang mulai basah.
“Mmh.. Sst.. Enak.. Ndi.. Te.. Rus.. Agak cepe.. tan.. Sst”
“Sst.. Ya.. Nah.. Sst.. Gitu” rintih Lia yang kelihatan mulai terangsang hebat.

Tangan kiri saya yang tadinya hanya mengusap-usap pinggangnya jadi aktif mengusap payudara kirinya dan saya percepat permainan tangan pada vaginanya dan tiba-tiba saja Lia menjepit tangan saya dan disusul keluarnya cairan putih, berarti Lia telah orgasme yang pertama.

“Mmh.. Nikmat juga ya rasanya Ndi” gumam Lia sambil memandangku sayu.
“Mau nggak ngerasain si boy?” bujuk saya melihat Lia yang sedang terangsang berat.
“Mmh..” gumannya pelan, agak ragu Lia menjawab tapi akhirnya Lia pindah ke belakang mobil, wah tambah asyik nich.

Saya juga berpindah ke belakang mobil sambil melepas celana jins serta CD saya hingga bagian bawah saya bugil dan atasnya masih memakai kaos, untuk berjaga-jaga siapa tahu ada orang lewat.

“Ndi.. Pelan aja” guman Lia pelan sambil melepas CD putihnya hingga Lia sekarang bagian bawah atasnya juga bugil cuma memakai baju seragam SMU-nya tanpa BH.
“Ya, Sayang, kupakai kondom dulu ya supaya aman” jawab saya sambil mengambil posisi duduk menghadap ke depan dan mengarahkan Lia dalam posisi saya pangku serta menghadap saya. Pantatnya yang semok saya pegang dengan kedua tangan dan memberi arahan pada Lia.
“Pegangin si boy, ya tangan kanan” pinta saya pada Lia yang memegang kontolku dan mengarahkan ke vaginanya yang masih sempit.
“Nanti Lia dorong ke bawah ya, kalau udah pas kontolnya”
“Aduh.. Sakit..” rintih Lia karena kontol saya meleset pada bibir vaginanya.

Kembali saya arahkan kontol pada lubang vaginanya, pada usaha keempat, bless akhirnya masuk kepala dulu.

“Sst.. Pe.. Lan.. Ndi..” Rintih Lia sambil memegang tangan kiri saya dengan tangan kanannya dan mengigit bibir bawahnya dengan pelan.
“Pertamanya sakit kok, tapi agak lama juga enak” rayu saya sambil mendorong pinggulnya ke bawah hingga lama kelamaan, bless..
“Akhh..” jerit Lia lirih karena kontol saya semuanya masuk dalam vaginanya.
“Gimana rasanya?”
“Sakit sich, tapi.. Geli..” gumam Lia mencium saya dengan lembut. Dengan perlahan saya sodok vaginanya naik turun hingga Lia mendesis lirih.
“Sst.. Agak.. ee.. tengah.. sst..” rintih Lia lirih sambil menggoyangkan pinggulnya hingga sodokan dan goyangan itu menimbulkan bunyi clop.. clop.. clop.., begitu kira-kira.

Semakin lama sodokan saya percepat disertai dengan goyangan Lia yang makin liar hingga tangan saya kewalahan menahan posisi vaginanya agar pas pada kontol saya yang keluar masuk makin cepat. Bahkan payudaranya bergoyang-goyang ke atas ke bawah, kadang membentur muka saya, sungguh nikmat sekali pembaca sekalian.

“Barengan ya keluarnya ya.. Mmh..” perintah saya pada Lia karena sepertinya lahar putih saya sudah sampai puncaknya, jadi saya berusaha bertahan beberapa menit lagi.
“Mmhm.. Sst.. Ya.. Ndi..”
“Ce.. Petan.. Sst.. Ndi..” rintih Lia sambil memeluk dan menjepit saya dengan keras. Rupanya Lia sudah mencapai puncaknya dengan goyangannya yang makin keras.
“Ssrtss.. Seka.. Rang.. Sst.. Akhkk..” jerit Lia karena keluarnya cairan putih itu yang berbarengan dengan bobolnya pertahanan saya, secara bersaman kami saling memeluk menikmati sensasi yang luar biasa itu.

Beberapa saat kami masih berpelukan disertai tetesan keringat membasahi badan padahal mobil masih menjalankan AC-nya hampir full.

“Gimana rasanya, puas nggak” tanya saya sambil mencium bibirnya yang indah itu.
“Ternyata enak juga making love sama Om Andi”
“Lain sama pacarnya Lia, agak kasar sich” celotehnya sambil melepaskan pelukan saya dan memakai kembali CD dan BH-nya yang berwarna putih itu, setelah Lia kembali memakai seragam sekolahnya dan tentu saya juga, jam telah menunjukkan pukul 11.45 siang.
“Sebagai tanda terima kasih, gimana kalau Om Andi kutraktir”
“Boleh saja, sekarang kita kemana?” tanya saya melihat Lia menjalankan mobilnya menuju kota.
“Pulang dong” jawabnya manja.
“Lho, terus saya ngapain”
“Nanti kukenalin sama mamanya Lia dan adiknya Lia, mau nggak Om?”
“Okey..”

Ternyata Lia tinggal di perumahan mewah, pantas bawanya mobil. Tampak seorang wanita yang anggun dan cantik berusia kurang lebih 47 tahun sedang membaca sebuah majalah. Tapi yang menarik perhatian saya, baju longdress yang dikenakannya dengan belahan atas yang rendah hingga memperlihatkan payudaranya yang berwarna putih itu, mungkin lebih besar daripada punya Lia, tingginya kira-kira 163 cm/50 kg.

“Selamat siang Bu” sapa saya sopan.
“Selamat siang Pak” jawabnya ramah sambil bersalaman dengan saya.
“Ini Ma, guru privat matematika Lia yang baru, rencananya sich abis makan siang kita belajar”
“Oh ini to, yang namanya Pak Andi yang sering diceritain Lia”
“E.. Eh.. Ya..” jawab saya tergagap-gagap karena begitu lihainya Lia memperkenalkan saya sebagai guru privatnya, pelajaran matematika lagi, aduh.. gawat padahal saya tidak bisa apa-apa.

Setelah berbicara dengan ibunya mengenai les dan biaya tetek bengek lainnya, disepakati bahwa les privat cuma bisa saya lakukan dua minggu, itu pun harinya selang seling. Siang itu saya makan bersama Lia setelah ditinggal ibunya pergi keluar dan baru pulang sore hari. Lia sudah berganti pakaian dengan celana pendek dan kaos ketat khas ABG.

“Gila kamu Lia, nanti kalau ketahuan ibumu gimana?”
“Tenang aja Om, mama itu jarang kok nyampurin urusan Lia”
“Oh, gitu”
“Katanya Om mau ngajarin Lia” goda Lia penuh arti sambil mengerling nakal. Ini baru namanya surga dunia, setelah puas makan kami mengobrol sambil menonton film DVD yang dibawa Lia.

Selama dua minggu itu sebelum Lia akhirnya pindah ke Jakarta, kami sering making love tanpa sepengetahuan mamanya, pokoknya hampir tiap bertemu dengan berbagai posisi, yang sering di mobil, kamar tidur, kamar mandi, bahkan di suatu acara ulang tahun mamanya, saya diundang.

“Gimana Ndi, ramai nggak ulang tahun mama saya?”
“Wah, ramai sekali, pasti papamu pejabat ya?”
“Ah enggak kok, Papa itu pengusaha”
“Oh gitu” jawab saya sambil memperhatikan Lia yang malam itu memakai gaun yang sungguh indah, apalagi belahan atas gaunnya sungguh rendah hingga memperlihatkan payudaranya yang putih itu, mungkin tidak pake BH, gaunnya yang berwarna hijau cuma sebatas di atas lutut. Bahkan kalau Lia duduk dan saya perhatikan gaun bawahnya, mungkin dengan sengaja Lia membuka gaun bawahnya hingga memperlihatkan CD-nya yang berwarna merah muda itu. Wow, sungguh membuat si boy berontak, tapi saya pura-pura cool saja.

“Ndi, Lia lagi pengin nich, gimana?” tanya Lia tiba-tiba sambil mendekat pada saya.
“Kita cari ruangan yuk” ajak saya yang kebetulan tadi melihat ruangan dekat taman sedang kosong.
“Lho kok ke sini, apa tidak ke kamar?” tanya Lia heran.
“Bosan ah di kamar, cari variasi lain, mau nggak?”
“Ayo, cepetan waktunya mepet nich” gandeng Lia terburu-buru.
“Lia, kamu malam ini can..” belum sempat saya berkata romantis sudah dipotong Lia dengan ciumannya yang melumat bibir saya dengan ganas, kami pun berciuman dengan alot sambil tangan saya masuk ke belahan gaunnya dan meremas payudaranya dengan gemas.
“Mmh..” gumam Lia karena bibirnya sudah menyatu dengan bibir saya sambil tangannya membuka resleting celana panjang saya dan meremas-remas kontol saya yang sudah berdiri sejak tadi.

Beberapa menit kami saling melakukan ciuman dan remasan hingga akhirnya Lia mendorong saya perlahan.

“Ayo Ndi, buka celanamu” perintah Lia sambil melepas CD saya dan Lia mengambil posisi berjongkok untuk menghisap kontolku dengan sedotan yang agak keras.
“Pe.. Lan.. Aja..” pinta saya pada Lia karena kerasnya hisapan Lia hingga semua kontol saya masuk pada mulutnya. Beberapa menit telah berlalu dan saya sungguh tidak tahan dengan posisi tersebut.
“Gantian dong..” pinta saya pada Lia sambil saya berjongkok dan membuka CD merah mudanya serta menghisap vaginanya dan mencari biji kacangnya, menghisap dan menjilat sampai dalam vaginanya hingga semakin banyak cairan yang keluar dan Lia semakin merintih-rintih dalam posisi berdiri.
“Sst.. Isep.. Yang keras.. Ndi.. Sst..”
“Udah Ndi.. Sst.. Ayo..” rintihan dan celotehan Lia meminta saya untuk memasukkan si boy ke dalam vaginanya.

Kami sekarang berdiri tapi Lia menghadap ke tembok, saya singkap gaunnya dari belakang, dengan dibantu Lia saya berusaha menyodokkan kontol saya dari belakang pantatnya. Akhirnya masuk semua kontol saya dalam vaginanya, sodokan demi sodokan dengan cepat membuat Lia merintih meminta saya segera mengakhiri permainan itu, beberapa puluh menit kemudian..

“Sst.. Ayo.. Ndi.. Sst.. Keluarin..”
“Lia udah pegel nich sst..” rintih Lia lirih karena kami jarang melakukannya dalam posisi berdiri.
“Sst.. Aduh.. Akhkk..” Dan akhirnya croott.. croot.. Keluarlah lahar putih itu bersamaan dengan jeritan Lia.

Itulah malam terakhir kami sebelum Amelia dan mamanya pindah ke Jakarta mengikuti tugas papanya yang saya dengar dipromosikan jadi general manager di sana. Selamat jalan Lia, sampai ketemu lagi lain waktu, dan kalau kamu membaca cerita ini, jangan lupa ya kasih komentarmu bagian mana yang kurang.

*****

Bagi para cewek atau ibu-ibu yang ingin jalan-jalan ke pulau Lombok bisa menghubungi saya lewat email, dijamin pasti puas, bahkan bisa curhat. Khusus untuk cewek-cewek yang tinggal di pulau Lombok bisa langsung berkenalan dengan saya. Saya biasa merental internet di belakang mall Cilinaya sekitar hari Senin pagi jam 08.45 atau sore jam 17.30, biasa duduk di pojok nomor 9 atau nomor 2. Yang bernama Andi dan bisa membuka email pribadiku, itu pasti Andi asli, kalau tidak bisa berarti bukan Andi yang asli alias penipu. Hati-hati terhadap terhadap penipuan, seperti iklan di TV ya.. He.. He.. He..

Topics: Daun Muda | 16 Comments »
Profesi dan Kehormatan

By sebastian | July 17, 2008 

Aku tersentak bangun saat kudengar jam wekerku berdering dengan nyaring.

“Uhh.. Jam berapa ini..!” gumamku pelan sambil berusaha membuka mataku, aku masih malas dan ingin kembali tidur, tapi tiba tiba aku teringat bahwa hari ini aku harus buru-buru berkemas dan berangkat, kalau tidak, aku akan ketinggalan pesawat.

Hari ini aku akan pergi ke luar kota, bank swasta tempatku bekerja menugaskanku untuk mengikuti beberapa program pendidikan di kantor cabang salah satu kota di daerah Jawa Tengah.

Namaku Melinda tapi teman-teman biasa memanggilku Linda. Aku dilahirkan dari keluarga yang serba berkecukupan dan aku hanya mempunyai satu saudara kandung laki-laki, praktis semua permintaan dan kebutuhanku selalu dipenuhi oleh kedua orang tuaku. Aku benar benar sangat di manja oleh mereka. Ayahku berasal dari negeri Belanda, sedangkan ibuku berasal dari Menado, aku bersyukur karena seperti gadis peranakan pada umumnya, aku pun tumbuh menjadi gadis yang berwajah cukup cantik.

Saat ini usiaku 24 tahun, wajahku cantik dan kulitku putih mulus, rambutku lurus dan panjang sampai di bawah bahu, tubuhku pun termasuk tinggi dan langsing dipadu dengan ukuran buah dada yang termasuk besar untuk ukuran gadis seusiaku, ditambah lagi, aku sangat rajin merawat tubuhku sendiri supaya penampilanku dapat terus terjaga.

“Wah.. Aku belum sempat potong rambut nih..” gumamku sambil terus mematut diri di depan cermin sambil mengenakan pakaianku. Hari ini aku memakai setelan rok coklat tua dan kemeja putih berkerah, lalu aku padukan dengan blazer coklat muda. Aku merasa tampil makin cantik dengan pakaian kesayanganku ini, membuat aku tambah percaya diri.

Singkat cerita, aku telah sampai di kota tempatku akan bekerja. Aku langsung menuju kantor cabangku karena aku harus segera melapor dan menyelesaikan pekerjaan.

Sesampai di depan kantor suasananya terlihat sangat sepi, di lobby kantor hanya terlihat dua orang satpam yang sedang bertugas, mereka mengatakan bahwa seluruh karyawan sedang ada pelatihan di gedung sebelah. Dan mereka juga berkata bahwa aku sudah ditunggu oleh Pak Bobby di ruangannya di lantai dua, Pak Bobby adalah pimpinan kantor cabang di kota ini.

“Selamat siang..! Kamu Melinda kan..?” sambut Pak Bobby ramah sambil mempersilakan aku duduk.
“Iya Pak.. Tapi saya biasa di panggil Linda..” jawabku sopan.

Pak Bobby kemudian mengajukan beberapa pertanyaan kepadaku, sambil sesekali menanyakan keadaan para pegawai di kantor pusat. Cukup lama juga aku berbicara dengan Pak Bobby, hampir lima belas menit, padahal sebenarnya, aku harus ke gedung sebelah untuk mengikuti diklat, tapi Pak Bobby terus saja menahanku dengan mengajakku berbicara.

Sebenarnya aku sedikit risih dengan cara Pak Bobby memandangku, mulutnya memang mengajukan pertanyaan kepadaku, tapi matanya terus memandangi tubuhku, tatapannya seperti hendak menelanjangiku. Dia memperhatikanku mulai dari ujung kaki sampai ujung kepala, sesekali pandangannya tertumpu di sekitar paha dan buah dadaku. Aku agak menyesal karena hari ini aku mengenakan rok yang agak pendek, sehingga pahaku yang putih jadi sulit untuk kusembunyikan. Dasar mata keranjang, sungutku dalam hati. Baru tak berapa lama kemudian pembicaraan kami pun selesai dan Pak Bobby beranjak ke arah pintu mempersilakanku untuk mengikuti diklat di gedung sebelah.

“Terima kasih Pak.. Saya permisi dulu..” jawabku sambil beranjak ke arah pintu.

Perasaanku langsung lega karena dari tadi aku sudah sangat risih dengan pandangan mata Pak Bobby yang seperti hendak menelanku bulat bulat. Pak Bobby membukakan pintu untukku, aku pun berterima kasih sambil berjalan melewati pintu tersebut.

Tapi aku kaget bukan kepalang saat tiba tiba rambutku dijambak dan ditarik oleh Pak Bobby, sehingga aku kembali tertarik masuk ke ruangan itu, lalu Pak Bobby mendorongku dengan keras sehingga aku jatuh terjerembab di atas sofa tempat tadi aku duduk dan berbicara dengan Pak Bobby.

“Apa yang Bapak lakukan..?? Mau apa Bapak..?” jeritku setengah bergetar sambil memegangi kepalaku yang sakit akibat rambutku dijambak seperti itu.

Pak Bobby tidak menjawab, dia malah mendekatiku setelah sebelumnya menutup pintu ruangannya. Sedetik kemudian dia telah menyergap, mendekap dan menggumuliku, nafasnya mendengus menghembus di sekitar wajahku saat Pak Bobby berusaha menciumi bibirku

“Jangan.. Jangann..! Lepasskan.. Ssaya..!” jeritku sambil memalingkan wajahku menghindari terkaman mulutnya.
“Diam..!!” bentaknya mengancam sambil mempererat pelukannya pada tubuhku.

Aku terus meronta sambil memukulkan kedua tanganku ke atas pundaknya, berusaha melepaskan diri dari dekapannya, tapi Pak Bobby terus menghimpitku dengan erat, nafasku sampai tersengal sengal karena terdesak oleh tubuhnya. Bahkan sekarang Pak Bobby telah mengangkat tubuhku, dia menggendongku sambil tetap mendekap pinggangku, lalu dia menjatuhkan dirinya dan tubuhku di atas sofa dengan posisi aku ada di bagian bawah, sehingga kini tubuhku tertindih oleh tubuhnya.

Aku terus menjerit dan meronta, berusaha keluar dari dekapannya, lalu pada satu kesempatan aku berhasil menendang perutnya dengan lututku hingga membuat tubuhnya terjajar ke belakang. Dia terhenyak sambil memegangi perutnya, kupergunakan kesempatan itu untuk berlari ke arah pintu. Aku hampir sampai di pintu keluar saat tubuhku kembali tertarik ke belakang, rupanya Pak Bobby berhasil menggapai blazerku dan menariknya hingga terlepas dari tubuhku, sesaat kemudian aku sudah berada di dalam dekapannya kembali.

“Bajingann..! Lepaskan saya..!” jeritku sambil memakinya.

Tenagaku sudah mulai habis dan suaraku pun sudah mulai parau, Pak Bobby masih terus memelukku dari belakang sambil mulutnya berusaha menciumi leher dan tengkukku, sementara tangannya menelikung kedua tanganku, membuat tanganku terhimpit dan tidak dapat bergerak.

“Jangann..! Biadab.. Lepaskan sayaa..!” aku kembali menjerit parau.

Air mataku sudah meleleh membasahi pipiku, saat tangan Pak Bobby membetot keras kemeja putihku, membuat seluruh kancingnya terlepas dan berjatuhan di atas lantai. Sekarang tubuh bagian atasku menjadi setengah terbuka, mata Pak Bobby semakin melotot melihat buah dadaku yang masih terlindung di balik bra hitamku, setelah itu, dia menarik kemeja yang masih menempel di bahuku, dan terus menariknya sampai menuruni lenganku, sampai akhirnya Pak Bobby menggerakkan tangannya, melemparkan kemeja putihku yang telah terlepas dari tubuhku.

“Lepasskann..!!” jeritku saat satu tangannya mulai bergerak meremasi sebelah payudaraku.

Tubuhku mengelinjang hebat menahan ngilu di buah dadaku, tapi dia tidak berhenti, tangannya malah semakin keras meremas buah dadaku. Seluruh tubuhku bergetar keras saat Pak Bobby menyusupkan tangannya ke balik bra hitamku dan mulai kembali meremas payudaraku dengan kasar, sambil sesekali menjepit dan mempermainkan puting buah dadaku dengan jarinya, sementara mulutnya terus menjilati leherku dengan buas.

Pak Bobby sudah akan menarik lepas bra yang kukenakan, saat pada saat yang bersamaan pintu depan ruangannya terbuka, dan muncul seorang laki laki dengan wajah yang tampak kaget.

“Ada apa nih Pak Bobby..?” serunya, sambil memandangi tubuhku.
“Lepaskan saya.. Pak..! Tolong saya..! Pak Bobby akan memperkosa saya..!” jeritku memohon pertolongan dari orang itu.

Perasaanku sedikit lega saat laki-laki itu muncul, aku berharap dia akan menolongku. Tapi perkiraanku ternyata salah..

“Wah Pak.. Ada barang baru lagi nih. Cantik juga..!” seru laki-laki itu sambil berjalan mendekati kami, aku langsung lemas mendengar kata-katanya, ternyata laki laki ini sama bejatnya dengan Pak Bobby.
“Ada pesta kecil..! Cepat Han.!! Lu pegangi dia..! Cewek ini binal banget” jawab Pak Bobby sambil tetap mendekap tubuhku yang masih terus berusaha meronta.

Sedetik kemudian laki-laki itu sudah berada di depanku, tangannya langsung menggapai dan merengkuh pinggangku merapatkan tubuhnya dengan tubuhku, aku benar-benar tidak dapat bergerak, terhimpit oleh laki-laki itu dan Pak Bobby yang berada di belakangku, lalu tangannya bergerak ke arah bra-ku, dan dengan sekali sentak, dia berhasil merenggut bra itu dari tubuhku.

“Tidak.. Tidak..! Jangan lakukan..!!” jeritku panik.

Tangisku meledak, aku begitu ketakutan dan putus asa hingga seluruh bulu kudukku merinding, dan aku semakin gemetar ketakutan saat laki-laki yang ternyata bernama Burhan itu melangkah ke belakang, sedikit menjauhiku, dia diam sambil memandangi buah dadaku yang telah terbuka, pandangannya seperti hendak melahap habis payudaraku.

“Sempurna..! Besar dan padat..” gumamnya sambil terus memandangi kedua buah dadaku yang menggantung bebas.

Setelah itu dia kembali beranjak mendekatiku, mendongakkan kepalaku dan melumat bibirku, sementara tangannya langsung mencengkeram buah dadaku dan meremasnya dengan kasar. Suara tangisanku langsung terhenti saat mulutnya menciumi bibirku, kurasakan lidahnya menjulur di dalam mulutku, berusaha menggapai lidahku. Aku tercekat saat tangannya bergerak ke arah selangkanganku, menyusup ke balik rokku, aku langsung tersentak kaget saat tangannya merengkuh vaginaku. Kukumpulkan sisa-sisa tenagaku lalu dengan sekuat tenaga kudorong tubuh Pak Burhan.

“Tidak.! Tidak..! Lepaskan saya.. Bajingan kalian..!” aku menjerit sambil menendang-nendangkan kakiku berusaha menjauhkan laki-laki itu dari tubuhku.
“Ouh.. Ssakit..!!” keluhku saat Pak Bobby yang berada di belakangku kembali mendekapku dengan lebih erat. Kutengadahkan kepalaku, kutatap wajah Pak Bobby, aku memohon supaya dia melepaskanku.
“Tolonngg.. Hentikann Pak..!! Saya.. Mohon.. Lepaskan saya..” ucapku mengharap belas kasihannya.

Keadaanku saat itu sudah benar-benar berantakan, tubuh bagian atasku sudah benar-benar telanjang, membuat kedua payudaraku terlihat menggantung dan tidak lagi tertutup oleh apapun. Aku sangat takut, mereka akan lebih bernafsu lagi melihat keadaan tubuhku yang sudah setengah telanjang ini, apalagi saat ini tubuhku sedang ditelikung oleh Pak Bobby dari belakang hingga posisi itu membuat dadaku jadi terdorong ke depan dan otomatis buah dadaku pun ikut membusung.

Beberapa saat kemudian Pak Bobby tiba tiba mengendorkan dekapannya pada tubuhku dan akhirnya dia melepaskanku. Aku hampir tidak percaya bahwa Pak Bobby mau melepaskanku, padahal saat itu aku sudah sangat putus asa, aku sadar aku hampir tidak mungkin lolos dari desakan kedua laki-laki tersebut.

Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu, aku langsung berlari secepatnya ke arah pintu, tapi lagi-lagi aku kalah cepat, Pak Burhan sudah menghadang di depanku dan langsung menghunjamkan pukulannya ke arah perutku.

“Arghh..!! Sshh.. Ouhh..” aku mengeluh kesakitan.

Kupegangi perutku, seketika itu juga, aku langsung jatuh terduduk, nafasku tersengal-sengal menahan sakit yang tak terkira. Belum hilang rasa sakitku, mereka berdua langsung menyerbu ke arahku.

“Pegangi tangannya Han..!!” seru Pak Bobby sambil mendorong tubuhku sehingga aku jatuh terjengkang di atas lantai.

Seketika itu juga Pak Burhan sudah berada di atas kepalaku dan mencengkeram kedua tanganku, sementara Pak Bobby berada di bawah tubuhku, mendekap kedua kakiku yang berusaha menendangnya. Dia sudah seperti kemasukan setan, melepasi sepatu hak tinggiku, merobek stockingku dan mencabik cabik rok yang kukenakan dan akhirnya dia merenggut dengan paksa celana dalamku, melolosinya dari kedua kakiku dan melemparkannya ke lantai.

“Lepasskann..! Lepasskan..! Tolongg.. Jangan perkosa sayaa..!” jeritanku makin keras di sela-sela keputusasaan.

Aku sudah tidak sanggup lagi menahan mereka yang sepertinya semakin bernafsu untuk memperkosaku, air mataku makin deras mengalir membasahi kedua pipiku, kupejamkan mataku, bulu kudukku langsung bergidik, aku tidak sanggup membayangkan kalau hari ini aku akan diperkosa oleh mereka.

“Jangann.. Ahh.. Tolongg..!” aku menjerit histeris saat Pak Bobby melepaskan pegangannya pada kedua kakiku.

Dia berdiri sambil melepaskan pakaiannya sendiri dengan sangat terburu-buru. Aku sadar, laki-laki ini sebentar lagi akan menggagahiku. Seketika itu juga kurapatkan kedua kakiku dan kutarik ke atas hingga menutupi sebagian dadaku, sementara kedua tanganku masih tetap di dekap erat oleh Pak Burhan. Tiba tiba Pak Bobby berjongkok, dia langsung menarik kedua kakiku, merenggangkannya dan kemudian memposisikan tubuhnya di antara kedua pangkal pahaku.

“Jangann..!!” keluhku lemah dan putus asa, sambil bertahan untuk tetap merapatkan kedua kakiku, tapi tenaga Pak Bobby jauh lebih kuat di bandingkan dengan tenagaku.

Aku terhenyak saat Pak Bobby mulai menindihku, membuatku jadi sesak dan sulit untuk bernafas, buah dadaku tertekan oleh dadanya, sementara perutnya menempel di atas perutku.

“Arghh..!! Jangann..! Sakiitt..!!” rintihku sambil berusaha menggeser pinggulku ke kiri dan ke kanan, saat kurasakan kemaluannya bergesekan dengan bibir kemaluanku.
“Sakiitt..!” aku kembali mengerang saat kepala penisnya mulai masuk ke dalam liang vaginaku.

Bersamaan dengan itu, tangan Pak Bobby bergerak, menjambak rambutku dan menariknya sehingga kepalaku terdongak, kemudian Pak Bobby dengan kasar melumat bibirku sambil terus menekankan tubuhnya ke arah selangkanganku. Kurasakan kesakitan yang luar biasa di dalam liang vaginaku saat batang penisnya terus melesak masuk menghunjam ke dalam lubang kemaluanku.

“Ahh..! Jangann..! Sakiitt..!” aku kembali menjerit dengan keras saat batang penisnya menembus dan merobek selaput daraku.

Tubuhku melenting ke atas menahan sakit yang amat sangat. Kuangkat kakiku dan kutendang-tendangkan, aku berusaha menutup kedua kakiku, tapi tetap saja batang penis itu terbenam di dalam vaginaku. Aku sungguh tersiksa dengan kesakitan yang mendera vaginaku. Kuhempaskan wajahku ke kiri dan ke kanan, membuat sebagian wajahku tertutup oleh rambutku sendiri, mataku membeliak dan seluruh tubuhku mengejang hebat. Kukatupkan mulutku, gigiku bergemeretak menahan sakit dan ngilu, nafasku seperti tercekat di tenggorokan dan tanpa sadar kucengkeram keras tangan Pak Burhan yang sedang memegang kedua tanganku.

Aku masih terus merintih dan menangis, aku terus berusaha menendang-nendangkan kedua kakiku saat Pak Bobby menarik batang penisnya sampai tinggal kepala penisnya saja yang berada di dalam liang vaginaku, lalu menghunjamkannya kembali ke dalam liang rahimku. Pak Bobby sudah benar-benar kesetanan, dia tidak peduli melihatku yang begitu kesakitan, dia terus bergerak dengan keras di dalam tubuhku, memompaku dengan kasar hingga membuat tubuhku ikut terguncang turun naik mengikuti gerakan tubuhnya.

“Ahh.. Sshh.. Lepaskann..!” jeritanku melemah saat kurasakan gerakannya makin cepat dan kasar di dalam liang kemaluanku, membuat tubuhku makin terguncang dengan keras, buah dadaku pun ikut mengeletar.

Kemudian Pak Bobby mendaratkan mulutnya di buah dadaku, menciumi dan mengulum puting payudaraku, sesekali dia menggigit puting buah dadaku dengan giginya, membuat aku kembali terpekik dan melenguh kesakitan. Kemudian mulutnya bergerak menjilati belahan dadaku dan kembali melumat bibirku, aku hanya bisa diam dan pasrah saat lidahnya masuk dan menari-nari di dalam mulutku, sepertinya dia sangat puas karena telah berhasil menggagahi dan merenggut keperawananku.

Perlahan-lahan dia menghentikan gerakannya memompa tubuhku, melesakkan kemaluannya di dalam liang vaginaku dan menahannya di sana sambil tetap memelukku dengan erat. Setelah itu dia menurunkan mulutnya ke sekitar leher dan pundakku, menjilatinya dan kemudian menyedot leherku dengan keras, membuat aku melenguh kesakitan. Cukup lama Pak Bobby menahan penisnya di dalam liang kemaluanku, dan aku dapat merasakan kemaluannya berdenyut dengan keras, denyutannya menggetarkan seluruh dinding liang vaginaku, lalu dia kembali bergerak memompa diriku, memperkosaku pelan pelan, lalu cepat dan kasar, begitu berulang ulang. Sepertinya Pak Bobby sangat menikmati pemerkosaannya terhadap diriku.

Aku meringis sambil tetap memejamkan kedua mataku, setiap gerakan dan hunjaman penisnya terasa sangat menyiksa dan menyakiti seluruh tubuhku, sampai akhirnya kurasakan mulutnya makin keras menyedot leherku dan mulai menggigitnya, aku menjerit kesakitan, tapi tangannya malah menjambak dan meremas rambutku. Tubuhnya makin rapat menyatu dengan tubuhku, dadanya makin keras menghimpit buah dadaku, membuatku makin sulit bernafas, lalu dia mengatupkan kedua kakiku dan menahannya dengan kakinya sambil terus memompa tubuhku, kemaluannya bergerak makin cepat di dalam vaginaku, kemudian dia merengkuh tubuhku dengan kuat sampai benar-benar menyatu dengan tubuhnya.

Aku sadar Pak Bobby akan berejakulasi di dalam tubuhku, mendadak aku jadi begitu panik dan ketakutan, aku tidak mau hamil karena pemerkosaan ini, pikiranku jadi begitu kalut saat kurasakan batang kemaluannya makin berdenyut-denyut tak terkendali di dalam liang rahimku.

“Jangann..! Jangan.. Di dalam..! Lepasskan..!!” jeritku histeris saat Pak Bobby menghentakkan penisnya beberapa kali sebelum akhirnya dia membenamkanya di dalam liang kemaluanku.

Seluruh tubuhnya menegang dan dia mendengus keras, bersamaan dengan itu aku meraskan cairan hangat menyemprot dan membasahi liang rahimku, Pak Bobby telah orgasme, menyemburkan sperma demi sperma ke dalam vaginaku, membuat dinding vaginaku yang lecet makin terasa perih. Aku meraung keras, tangisanku kembali meledak, kutahan nafasku dan kukejangkan seluruh otot-otot perutku, berusaha mendorong cairan spermanya agar keluar dari liang vaginaku, sampai akhirnya aku menyerah. Bersamaan dengan itu tubuh Pak Bobby jatuh terbaring lemas di atas tubuhku setelah seluruh cairan spermanya mengisi dan membanjiri liang rahimku.

Mataku menatap kosong dan hampa, menerawang langit-langit ruangan tersebut. Air mataku masih mengalir, pikiranku kacau, aku tidak tahu lagi apa yang harus kuperbuat setelah kejadian ini, kesucianku telah terenggut, kedua bajingan ini telah merenggut kegadisan dan masa depanku, tapi yang lebih menakutkanku, bagaimana jika nanti aku hamil..! Aku kembali terisak meratapi penderitaanku.

Tapi rupanya penderitaanku belum berakhir. Pak Bobby bergerak bangun, melepaskan himpitannya dari tubuhku, aku kembali merintih, menahan perih saat batang kemaluannya tertarik keluar dari liang kemaluanku. Kuangkat kepalaku, kulihat ada bercak darah bercampur dengan cairan putih di sekitar pangkal pahaku. Aku menangis, pandanganku nanar, kutatap Pak Bobby yang sedang berjalan menjauhiku dengan pandangan penuh dendam dan amarah.

Seluruh tubuhku terasa sangat lemah, kucoba untuk bangun, tapi Pak Burhan sudah berada di sampingku, dia menggerakan tangannya, menggulingkan tubuhku dan mulai menggumuli tubuhku yang menelungkup, aku diam tak bergerak saat Pak Burhan menciumi seluruh punggungku, sesaat kemudian dia bergerak ke arah belakang tubuhku, merengkuh pinggangku dan menariknya ke belakang. Aku terhenyak, tubuhku terseret ke belakang, lalu Pak Burhan mengangkat pinggulku ke atas, membuat posisiku jadi setengah merangkak, kutopang tubuhku dengan kedua tangan dan lututku, kepalaku menunduk lemas, rambut panjangku tergerai menutupi seluruh wajahku, kepanikan kembali melandaku saat kurasakan batang penisnya menempel dan bergesekan dengan bibir vaginaku.

“Linda..! Kamu memang benar-benar cantik dan seksi..” gumam Pak Burhan sambil tangannya meremasi pantatku, sementara batang penisnya terus menggesek-gesek di bibir vaginaku.
“Ahh.! Sakiitt..! Sudahh.. Sudah..! Hentikann..!! jeritku menahan sakit saat kemaluannya mulai melesak masuk ke dalam liang vaginaku.

Kuangkat punggung dan kedua lututku, menghindari hunjaman batang penisnya, tapi Pak Burhan terus menahan tubuhku, memaksaku untuk tetap membungkuk. Seluruh otot di punggungku menegang, tanganku mengepal keras, aku benar-benar tak kuasa menahan perih saat penisnya terus melesak masuk, menggesek dinding vaginaku yang masih luka dan lecet akibat pemerkosaan pertama tadi, kugigit bibirku sendiri saat Pak Burhan mulai bergerak memompa tubuhku.

“Lepasskan..! Sudah..! Hentikaann..!!” jeritku putus asa.

Nafasku kembali tersengal sengal, tapi Pak Burhan terus memompaku dengan kasar sambil tangannya meremasi pantatku, sesekali tangannya merengkuh pinggulku, menahan tubuhku yang berusaha merangkak menjauhi tubuhnya, seluruh tubuhku kembali terguncang, terombang ambing oleh gerakannya yang sedang memompaku.

Tiba tiba kurasakan wajahku terangkat, kubuka mataku dan kulihat Pak Bobby berjongkok di depanku, meraih daguku dan mengangkatnya, Pak Bobby tersenyum menatapku dengan wajah penuh kemenangan, menatap buah dadaku yang menggantung dan menggeletar, meremasnya dengan kasar, lalu Pak Bobby mendekatkan wajahnya, menyibakkan rambutku yang tergerai, sesaat kemudian, mulutnya kembali melumat bibirku, mataku terpejam, air mataku kembali meleleh saat mulutnya dengan rakus menciumi bibirku.

“Ahh..!!” aku terpekik pelan saat Pak Burhan menyentakkan tubuhnya dan menekanku dengan kuat.

Batang penisnya terasa berdenyut keras di dalam lubang kemaluanku, lalu kurasakan cairan hangat kembali menyembur di dalam liang rahimku, aku menyerah, aku sudah tidak punya kekuatan lagi untuk melawan, kubiarkan saja Pak Burhan menyemburkan dan mengisi liang kemaluanku dengan cairan spermanya.

“Periihh..!!” rintihku pelan.

Pak burhan masih sempat menghunjamkan kemaluannya beberapa kali lagi ke dalam liang vaginaku, menghabiskan sisa sisa ejakulasinya di dalam liang rahimku sebelum akhirnya dia menariknya keluar melewati bibir vaginaku yang semakin terasa perih.

Sedetik kemudian satu kepalan tangan mendarat di wajahku. Aku terlempar ke samping, pandanganku berkunang kunang, lalu gelap. Aku jatuh pingsan. Saat siuman aku temukan foto-foto telanjangku berserakan di samping tubuhku dengan sebuah pesan..

“Pastikan..! Hanya Kita Bertiga yang Tahu..!!”

Hari itu juga aku kembali pulang ke Jakarta dengan membawa penderitaan yang amat berat, sesuatu yang paling berharga telah hilang dari diriku dirampas oleh kebiadaban mereka.

Topics: Umum | 26 Comments »
Noreen

By sebastian | July 17, 2008 

Noreen (bukan nama sebenarnya, tapi kerana ada mirip dengan pelakon Noreen Noor, kita panggil saja dia Noreen) berpaling dan mendapati bekas bapa mertuanya telah melondehkan kain sarongnya. Batang bekas bapa mertuanya yang hitam, panjang dan lebar itu semakin menegang.

Noreen berdiri terpaku di tengah kebun yang terpencil itu. Mereka tersembunyi daripada sesiapa jua, tempat yang Noreen datang untuk berjauhan dari orang lain. Untuk berfikir tentang bekas suami yang pergi begitu saja selepas menceraikannya. Tanpa disangka-disangka bapa mertuanya ada di situ. Bapa mertuanya berjalan ke arahnya. Dengan setiap langkah Noreen lihat batang bapa mertuanya semakin menegak. Tetapi Noreen Noreen berdiri kaku di situ.

Noreen membiarkan bapa mertuanya itu memeluknya dan merebahkan badan ke tanah. Dia berasa semakin lemah apabila tangan bapa mertuanya menyelak skirtnya dan seterusnya meraba-meraba tempat membusut yang hanya ditutupi oleh seluar dalam kecilnya.

Dalam sekejap masa saja rabaan itu menyebabkan bahagian bawah seluar dalam itu menjadi lembab. Tidak puas dengan hanya meraba-meraba di luar, orang tua itu terus menanggalkan seluar dalam kecil itu. Tempat rahsianya tidak lagi dibaluti oleh seutas benang pun. Tangan bapa mertuanya masuk ke celah kangkang Noreen, sambil meraba dan membelai tempat yang membonjol di celah kangkangnya.

Buat seketika Noreen takut juga akan dilihat orang. Namun di sini tiada orang lain. Hanya dia dan bapa mertuanya saja. Dia amat dahagakan seks. Dah lama dia tak dapat bersama lelaki yang dapat memuaskannya. Mungkin bapa mertuanya di kampung terpencil ini boleh.

“Aah..,” Noreen mengeluh bila merasakan jari orang tua itu mengentel klitorisnya.

Tanpa disedarinya bapa mertuanya itu mulai bergerak ke bawah. Bapa mertuanya mengangkangkan peha Noreen. Muka bapa mertuanya hanya beberapa inci daripada permukaan yang lembab itu. Noreen dapat merasakan kedua belah tangan bapa mertuanya memegang belah dalam pehanya supaya tidak tertutup.

“Ooh.. Arrgh!” Noreen tersentak apabila mulut bapa mertuanya tiba-tiba mengucup bibir pukinya.

Dia dapat merasakan lidah orang tua itu seperti ular mencuri-mencuri masuk ke dalamnya. Nafas Noreen terasa sesak apabila lidah itu keluar masuk dengan rancak ke dalamnya. Sekali ke tepi dan sesekali ke bawah, kemudian ke kiri dan kanan.

Kemudian orang tua itu menindih tubuh Noreen yang montok itu sehingga batang yang keras itu berada tepat di rekahan puki bekas menantunya. Dia bergerak ke depan sedikit sehingga tempat sulit mereka bersentuhan. Tangan Noreen ke bawah memegang batang pelir orang tua itu. Diusap-usap batang yang keras itu sebelum menyelitkan kepala tombol itu di celah bibir buritnya. Melihat pelawaan dari Noreen itu bapa mertuanya terus menekan batangnya masuk ke dalam puki Noreen. Lubang yang basah itu dengan amat mudah menerima batang tersebut walaupun agak besar juga.

“Aah..” Noreen mengerang apabila batang itu masuk sepenuhnya.

Sambil menujah puki Noreen dengan batangnya orang tua itu juga tidak henti-henti menghisap puting tetek Noreen. Punggung Noreen bergerak rancak apabila pukinya kena main dengan begitu sekali oleh bapa mertuanya. Dia mengerang tak henti2. Lubangnya berdecik-berdecik berbunyi apabila orang tua itu dengan laju memasuk dan mengeluarkan batangnya. Punggung Noreen terangkat buat kali terakhir sambil dia merangkul tubuh bapa mertuanya. Dia sampai ke kemuncaknya apabila terasa bapa mertuanya mula memancut di dalamnya.

Noreen terdampar keletihan. Peluh membasahi tubuhnya. Belum pernah dia kena main di tengah kebun begitu dan belum pernah dengan lelaki berumur 60 tahun. Masih hebat lagi orang tua itu rupanya. Mungkin dah lama dia tak dapat, apa lagi setelah kematian isterinya tahun empat bulan lalu. Tidak lama kemudian tanpa sebarang kata-kata, bapa mertuanya berlalu dari situ dan Noreen beredar pulang.

*****

Malam itu setelah makan malam, Noreen ke biliknya untuk tidur. Sudah hampir pukul 12 malam baru bapa mertuanya pulang, entah dari mana. Walaupun pada siang tadi Noreen telah membiarkan dirinya disetubuhi oleh bapa mertuanya, dia bukan berhasrat untuk mengulanginya lagi. Mungkin kalau dengan orang lain tak apa, tapi tak kanlah pula dengan bapa mertuanya sendiri. Mungkin tadi kerana nafsu seks yang sudah lama tidak dipuasi maka dia membiarkan dirinya disetubuhi. Tetapi sedikit sebanyak dia terasa menyesal sedikit.

Noreen sudah nyenyak tidur apabila biliknya dimasuki bapa mertuanya. Orang tua itu perlahan-lahan menghampiri katilnya. Bilik itu hanya diterangi oleh lampu malap di tepi katil. Tapi ia sudah cukup terang untuk bapa mertuanya melihat tubuh Noreen yang hanya dibaluti baju tidur yang jarang dan singkat.

Orang tua itu duduk di atas katil di tepi menantunya. Perasaan ghairahnya semakin membuak, apalagi melihat peha Noreen yang terkangkang sedikit. Noreen memang sudah kebiasaannya tidak memakai pakaian dalam bila dia tidur. Kurang selesa rasanya. Bulu-bulu hitam halus di sekeliling kemaluannya dapat dilihat samar-samar oleh bapa mertuanya. Tak sabar-sabar rasanya orang tua itu ingin menikmati sekali lagi tubuh yang cukup mengghairahkan itu.

Bodohnya anak aku meninggalkan perempuan yang secantik ini. Engkau tak mahu, untung aku boleh pakai sepuas2nya, fikir orang tua itu. Buat apa dibazir. Apalagi dia juga sedar bahawa menantunya yang belum mempunyai anak itu juga amat dahagakan seks. Dalam umur yang baru menjangkau 25 tahun tentu dia ingin dibelai sentiasa. Dia sendiri juga sama, setelah ketiadaan isterinya sudah beberapa tahun ini. Walau umurnya dah nak mencecah 60 tahun, namun masih lagi kuat tenaganya. Dan sejak berduaan saja dengan menantunya itu, semakin menjadi-menjadi pulak keinginannya.

Dia menyentuh kedua buah dada yang membusut itu dan meramas-meramas lembut. Terdengar nafas Noreen turun naik semakin kencang sikit dan puting buah dadanya mula mengeras dan berkerut-kerut. Dia berhenti seketika untuk membuka butang baju tidur menantunya. Selesai membuka butang, dia terus saja menarik ke kiri dan kanan. Kemudian dia melucutkan kain yang dipakainya sendiri. Batangnya sudah terpacak keras. Mahu saja dia menindih tubuh menantunya, tapi dia sedar dia tidak harus gopoh. Dia harus mengghairahkan Noreen dulu supaya menantunya akan mengikut apa sahaja kehendaknya nanti.

Dia naik ke atas katil dan tidur mengiring di tepi menantunya yang masih nyenyak. Tangannya merayap semula ke dada Noreen. Seronok dia meramas-meramas kedua belah buah dada yang membusut itu. Sekali dia menggentel kedua-kedua puting yang menjadi keras semula. Sekali lagi nafas Noreen turun naik dengan cepat. Orang tua itu merapatkan tubuhnya ke tubuh Noreen. Digesel-Digesel batangnya pada peha Noreen sambil dia mencium buah dada menantunya. Apabila mulutnya terjumpa terus saja dia menghisap puting buah dada yang keras itu. Tangannya pula merayap ke celah kangkang Noreen. Dia menggosok-menggosok puki Noreen.

“Mm..” Noreen mengerang sambil pehanya dengan sendiri terbuka.

Bapa mertuanya mengusap-mengusap bulu-bulu halus yang menutupi kemaluan Noreen sebelum jarinya ke celah bibir yang sudah mulai lembab sedikit. Digosok-Digosok dan dikuis-kuisnya lembut sehingga di celah-celah bibir itu mulai basah. Mukanya meninggalkan dada Noreen. Dia mencium pipi Noreen sebelum mulut mereka bertemu. Mulut Noreen terbuka menerima lnoreennya. Jarinya mulai keluar masuk kemaluan Noreen. Kemudian dua jari masuk ke dalam kemaluan menantunya pula.

“Uuhh..” tiba Noreen mendengus sambil membuka matanya. Terkejut seketika dia melihat muka bapa mertuanya hanya beberapa inci dari mukanya.
“Huh..?”
“Bapak stim..”
“Kenapa tak kejutkan Noreen? Datang curi-curi pulak..”
“Saja..”
“Kalau datang mintak takut Noreen tak bagi?”
“Heh heh.”
“Kalau mintak takkan lah Noreen tak bagi. Kan Noreen bagi petang tadi..”

Dia tersenyum memandang bapa mertuanya.

“Mm..” dia memandang ke bawah sambil tersenyum apabila terasa jari orang tua itu menggentel-gentel kelentitnya.
“Kamu ni dah lama tak kena, ya?”
“Kan petang tadi dah kena dengan bapak..”
“Yalah, sebelum tu maksud aku.”
“Kenapa bapak cakap begitu?”
“Aku gentel sikit, kamu dah cukup basah..”
“Memanglah dah lama tak dapat..”

Tangan Noreen memegang batang bapa mertuanya yang asyik menyucuk-menyucuk pehanya. Dibelainya dengan lembut. Kemudian dilancapnya perlahan-perlahan sehingga orang tua itu pula yang mula mengerang. Noreen melepaskan seketika batang itu sebelum menolak bapa mertuanya supaya tidur melentang. Dia menindih badan orang tua itu tetapi dengan kepalanya ke bawah. Dipegangnya batang itu semula sebelum membongkokkan kepalanya. Noreen menjilat sekeliling kepala tombol itu sebelum dimasukkan ke dalam mulutnya. Kemudian dia menghisap perlahan-lahan.

Cukup stim orang tua itu dikerjakan Noreen dengan mulutnya sehingga dia terasa akan pancut dalam sedikit masa saja lagi. Dia pun tidak tahan sabar lagi. Terus diangkatnya punggung Noreen supaya naik ke atasnya. Kedua lutut Noreen berada di sebelah kiri dan kanan kepala bapa mertuanya.

Terpampanglah kemaluan Noreen yang terbuka luas hanya beberapa jengka dari muka orang tua itu. Tak sabar-sabar lagi orang tua itu pun menyembamkan mukanya ke puki Noreen. LNoreennya terus saja masuk ke celah-celah bibir puki menantunya sambil tangannya meramas-meramas punggung Noreen yang lebar itu. Kemudian tangannya membuka punggung Noreen, meninggalkan burit Noreen seketika untuk naik ke atas sikit mencari lubang jubur menantunya pula.

Dijilatnya tempat itu pula sehingga Noreen kegelian dibuatnya. Sedap ada, geli ada, jijik pun terasa. Tapi biarkan kalau itu yang orang tua itu suka. Lama mereka dalam posisi 69 itu sebelum Noreen bangun semula. Dia bertinggung di atas bapa mertuanya. Dipegangnya batang orang tua itu sebelum dia melabuhkan buritnya ke atas kepala tombol. Dengan amat mudah sekali batang itu masuk ke dalam lubangnya yang memang sudah cukup basah. Apabila batang itu tenggelam sepenuhnya, Noreen mengemut2kan kemaluannya.

“Aah..” orang tua itu mengerang.
“Kenapa? Tak suka?”
“Ada ke tak suka?” bapa mertuanya menjawab.
“Puki kamu ni memang cukup sedap.”

Dia memegang punggung Noreen supaya tidak bergerak sebelum dia mencabut sedikit kemudian masuk semula. Dia selang seli melaju dan memperlahankan tujahan ke dalam Noreen.

“Oohh..” Noreen pula mengerang.
“Kamu? Tak suka?”
“Memanglah batang bapak pun sedap. Kalau tidak tak kan mau Noreen bagi kat bapak,” dia berkata sambil menunduk dan mengucup mulut bapa mertuanya.

Sambil itu Noreen menggerak-gerakkan punggungnya seperti orang sedang menari gelek dan dalam sekejap masa saja burit Noreen mengembang sedikit dan dia terus sampai ke kemuncaknya. Orang tua itu terus mengocak puki Noreen sehingga menantunya mula ghairah semula.

“Noreen?”
“Mm?” menantunya menjawab manja.
“Kalau bapak mintak sesuatu, Noreen bagi tak?”
“Hmm, apa dia?”
“Boleh bapak pancut dalam mulut Noreen?”
“Terserah kalau bapak mahu..”

Lalu orang tua itu mula menojah puki Noreen dengan lebih laju lagi. Apabila Noreen terasa batang itu menjadi begitu tegang di dalamnya dia terus mencabut batang tu dari celah kangkangnya. Cepat-Cepat dia mengambil batang itu ke dalam mulutnya dan menghisap pula.

“Arrgh..” orang tua itu mengerang dan memegang kepala menantunya dan air maninya terpancut di dalam mulut Noreen.

Menantunya menghisap-menghisap hingga terkeluar semua air mani dan ditelannya. Apabila batang itu mulai lembik baru dilepaskan dari mulutnya. Kemudian Noreen menngucup batang yang telah begitu mendatangkan kepuasan kepadanya sedikit masa tadi. Seolah-olah susah nak dipercayai, batang yang sudah lembek itu telah berjaya membuak-buakkan nafsunya tadi. Mereka tertidur dalam keadaan bogel.

Kerana keletihan mereka tidur hingga ke pagi. Bila orang tua itu terjaga Noreen tidur dengan membelakangi bapa mertuanya. Dalam keadaan itu punggungnya berada rapat di perut bapa mertuanya. Kalaupun tidak kerana itu, memang dia sentiasa terjaga dengan batang yang keras. Selalunya kerana ingin ke bilik air. Dia bangun untuk membuang air kecil. Selesai saja dia masuk semula ke dalam.

Noreen masih tidur dalam posisi yang sama. Orang tua itu mengintai ke bawah. Jelas sekali dapat dilihat bibir kemaluan Noreen. Batangnya mengeras sekali lagi. Dia membongkok dan mengucup bibir puki menantunya seketika. Lembab dan masin sedikit. Cukup menaikkan nafsunya. Dia baring semula dan memeluk Noreen dari belakang. Dia menggerak-gerakkan punggungnya sedikit sehingga kepala tombol pelirnya berada di pintu masuk ke kemaluan Noreen. Jarinya menguakkan bibir puki Noreen sebelum diselitnya kepala tombol pelirnya di celah-celah bibir puki menantunya.

Posisi itu memang membuat lubang Noreen ketat sedikit dan agak sukar untuk dimasuki sepenuhnya. Dengan hanya kepala tombol saja di dalam orang tua itu menggerakkan punggungnya. Tangan kanannya memegang punggung Noreen sambil dia berbuat begitu. Lama kelamaan lubang itu jadi basah dan licin sedikit. Orang tua itu pun terus menekan batangnya ke dalam sepenuhnya. Kemudian baru dia bergerak-bergerak mengocak puki Noreen.

“Mm..” terdengar Noreen mengerang.
“Sedap..?” orang tua itu membisik di telinga Noreen.
“Mm..” terdengar bunyi dari mulut Noreen.
“Nak bapak teruskan?”
“Mm.. Sedapnya Bapak..”

Orang tua itu bangun. Dia mengangkat peha kanan Noreen supaya menantunya tidur melentang. Kemudian sekali lagi dia menekan batangnya ke dalam puki Noreen yang sudah basah.

“Oo.. Oo..” Noreen merengek apabila terasa kemuncaknya semakin dekat.
“Laju lagi Bapak,” dia memberi arahan.

Bapa mertuanya menuruti saja kehendak Noreen. Dia memperlajukan tujahan batangnya ke dalam burit Noreen sehingga tubuh menantunya tiba-tiba kejang dan dia terus sampai ke puncak kenikmatannya. Tak semena-mena orang tua itu mencabut batangnya walaupun dia belum pancut. Kepala dia turun ke bawah. Sekali lagi dia menjilat puki Noreen.

Menantunya menggeliat keseronokan sambil disua-suakan celah kangkangnya kepada orang tua itu. Orang tua itu menghisap kelentitnya seketika sebelum merayap ke atas dan menindih tubuh menantunya. Noreen mencari-mencari batang yang keras itu dengan tangannya. Apabila terjumpa terus dibawanya ke pukinya sekali lagi. Dia mahu merasakan batang itu di dalamnya. Sambil meletakkan hujung pelir bapa mertuanya di pintu kemaluannya, dia mengangkat punggungnya.

“Aa.. Hh,” dia mengerang apabila batang itu tenggelam sepenuhnya ke dalam buritnya. Punggungnya bergerak ke kiri dan kanan yang menyebabkan batang itu keluar masuk dari dalamnya.
“Sedapnya Pak..” dia membisik di telinga bapa mertuanya.

Orang tua itu merangkul tubuh Noreen sambil punggungnya bergerak laju ke depan dan belakang. Batangnya semakin rancak keluar masuk dari puki menantunya yang sudah cukup basah itu. Tidak lama kemudian dia menekan jauh ke dalam sambil melepaskan pancutan demi pancutan ke dalam.

Selesai sarapan mereka ke kebun. Noreen menolong bapa mertuanya di kebun dengan tekun. Hampir tengah hari mereka kembali semula ke rumah. Noreen menyediakan masakan tengah hari. Setelah makan, orang tua itu ke bilik mandi. Selesai mandi, dia menyalin pakaian dan berehat di atas sofa di ruang tamu. Setelah selesai mandi dan mengenakan baju-T serta kain sarong, Noreen datang membawa minuman kepada bapa mertuanya. Sambil duduk di samping bapa mertuanya dan menikmati minuman kopi, Noreen mempelawa untuk mengurut tubuh orang tua yang nampak keletihan itu. Orang tua itu setuju sahaja, tetapi mengajak Noreen ke dalam bilik.

Dia berbaring di atas katil dan Noreen mula mengurut. Mula-Mula di bahu dan belakang, diikuti dengan betis dan peha pula. Kemudian Noreen menyuruh bapa mertuanya mengalih kedudukan supaya dia boleh mengurut bahagian depan pula. Apabila orang tua itu mengalih posisi, ternampak sesuatu menongkat kain sarongnya. Dia tersengeh. Noreen pura-pura buat tak nampak sambil dia mengurut. Tiba-tiba orang tua itu menyentuh buah dada Noreen. Dibiarkannya sahaja. Orang tua itu meramas-meramas kedua tetek Noreen.

“Itu nak mengurut ke nak apa tu..?” Noreen berkata sambil ketawa.
“Tengah urut le ni..” orang tua itu tersengeh.
“Nak Noreen urut kat sini juga?” perempuan muda itu menyentuh tempat yang menongkat kain sarong bapa mertuanya.
“Urut situ pun bagus juga..” kata orang tua itu.
“Tapi biar aku urut kau dulu. Nak?”
“Mm..” jawab Noreen manja.
“Kalau nak, Noreen baringlah.”

Tanpa disuruh dua kali, Noreen pun merebahkan badannya ke katil. Bapa mertuanya menyuruhnya meniarap. Noreen mengikut perintah lagi. Orang tua itu bangun dan duduk di atas punggung Noreen sambil tangannya mula memicit bahu menantunya. Kemudian tangannya ke bawah pula, ke pinggang dan seterusnya ke betis dan peha. Bila bahagian dalam pehanya diurut, Noreen menggeliat keenakan. Memang dia sudah mula terangsang. Dari tadi pun, ketika dia memicit tubuh bekas bapa mertuanya kehangatan telah merebak ke seluruh tubuhnya. Apalagi bila melihat batang orang tua itu menongkat kain sarungnya, tanda bahawa bekas bapa mertuanya sekali mahu memain pukinya.

“Bapa rasa Noreen buka semua pakaian. Lagi senang bapa urut..”
“Ya ke?” kata Noreen sambil menoleh ke belakang, melihat bekas bapa mertuanya tersengeh saja.
“Bapa bukakanlah untuk Noreen..” dia menyuruh manja.

Tanpa disuruh dua kali orang tua itu melondehkan kain sarung dan membuka baju Noreen. Bekas menantunay itu memang tidak memakai pakaian dalam jadi terdedahlah tubuhnya yang putih melepak untuk ditatap dengan geram oleh orang tua itu. Bekas bapa mertuanya itu terus melucutkan kain sarung yang dipakainya sendiri.

“Nak bapa urut dengan lidah ke dengan ini?” katanya sambil mengisyaratkan batangnya keras menunjuk langit.
“Suka hati Bapak lah..” jawab Noreen sambil ketawa.

Orang tua itu kembali duduk di atas buntut Noreen. Batangnya diletakkan di rekahan punggung Noreen sambil dia menggerak-menggerak punggungnya ke depan dan belakang. Noreen menggeliat kegelian. Dapat dirasakan celah kangkangnya mulai basah sedikit. Orang tua itu menindih belakang Noreen dengan tubuhnya. Dikuakkan rambut Noreen untuk mencari belakan tengok Noreen. Dicium dan dijilatnya hingga ke telinga.

“Mm..” Noreen mendengus apabila cuping telinganya dijilat.

Tak disangkanya orang tua itu begitu mahir sekali memainkan peranan untuk memuncakkan keberahiannya. Kalau seminggu dulu dia hanya menyayangi orang tua itu sebagai bekas mertuanya, tetapi kini perasaan sayang yang timbul sudah berbeza. Sayangnya kini sebagai seorang kekasih, apalagi kekasih yang cukup mahir dan hebat di ranjang sekalipun sudah lebih dua kali ganda umurnya sendiri.

Walau bekas bapa mertuanya tidak sekacak bekas suaminya dulu, namun itu tidak dikisahkan sangat oleh Noreen. Ternyata orang tua itu lebih hebat dari anak lelakinya sendiri dalam cara memuaskan perempuan. Dan itu yang lebih penting untuk Noreen kini. Dalam dua hari ini dia merasa lebih puas digomoli daripada setahun lebih hidup bersama suaminya dulu yang kurang mahir memberikan kepuasan seks kepadanya. Dan si tua yang pernah bergelar mertua ini ternyata tahu di mana terletak segala kunci eros di seluruh pelosok tubuhnya.

Pinggul Noreen mula terangkat-terangkat menerima geselan batang yang besar dan keras di celahan punggungnya yang masih padat dan gebu itu. Pehanya terbuka sehingga tubuh orang tua itu berada di celah kangkangnya. Bahagian depan kemaluannya ditekan-ditekan pada tilam di bawah perutnya. Namun itu untuk meredakan sedikit kegatalan yang semakin menjadi-menjadi di celah kangkangnya. Orang tua itu menggerakan tubuhnya ke bawah sedikit sehingga kepala tombolnya sesekali tersentuh dengan bibir kemaluan Noreen.

Terasa kebasahan di celah bibir itu di hujung pelirnya. Dia tahu bekas menanntunya kini sudah betul-betul berada di bawah taklukannya. Dia tersenyum puas kerana berjaya memperoleh perempuan muda dan cantik ini bukan dengan kekayaan atau ketampanannya, tapi dengan batangnya yang keras dan besar itu. Dia yakin Noreen sanggup mengabdikan diri kepadanya selagi dia masih berupaya memuaskan. Dia sendiri juga sanggup melakukuan segalanya supaya Noreen akan tetap tinggal serumah dengannya. Memang dia mengidamkan tubuh Noreen yang menggiurkan itu sejak pertama kali dia menatap wajah Noreen. Oleh itu dia berhasrat memuaskan segala hajatnya walaupun sampai seribu kali.

Sengaja dia ulit-ulitkan kepala tombolnya kelopak kemaluan bekas menantunya itu, namun tidak juga dimasukkan. Setiap kali kepala tombol itu tersentuh pintu farajnya setiap kali pula dia menanti dengan debaran untuk merasakan sekali lagi benda yang telah berkali-berkali membuatnya orgasme. Namun dia kehampaan apabila setiap kali pula hujung pelir itu merenggangkan diri darinya. Dia sememangnya kepingin sangat merasakan lubangnya diterobos dengan ganas oleh batang yang keras itu. Namun bekas bapa mertuanya itu begitu sadis sekali, membuatnya tertunggu-tunggu. Dia mmenghembus nafas kehampaan sekali lagi.

“Cepatlah, Pak!” Noreen merayu.
“Cepat apa?”
“Masukkanlah cepat..”
“Mm..? Sayang nak apa sebenarnya ni?”
“Noreen nak batang Bapak lah..” Noreen merenggek seperti anak kecil mahukan susu.
“Ya ke? Nak sangat-sangat?”
“Mm.. Nak sangat-sangat..”
“Nak dekat mana?”

Kini Noreen sedar bahawa orang tua itu sebenarnya mahu mendengar dia mengucapkan kata-kata lucah.

“Noreen mahu bapak.. Kongkek puki Noreen yang sudah basah ni, Pak..” dia sekali lagi merasakan hujung pelir bekas bapa mertuanya di rekahan.
“Puki Noreen dah tak tahan lagi kalau tak dapat rasa batang Bapak itu..”

Mendengar kata-kata yang sebegitu lucah dari mulut bekas menantunya membuat makin terlonjak nafsu seksnya. Hatinya terasa sedikit megah bahawa perempuan semuda dan secantik Noreen sekarang sudah ketagih dengan batangnya yang besar itu. Dia mengambil bantal untuk mengalas bahagian bawah perut Noreen. Dalam keadaan begitu Noreen tertonggeng sedikit dan mahkota di celah kangkangnya terbuka untuk digunakan sepuas-puasnya. Orang tua itu sekali lagi mengacukan hujung pelirnya ke belahan yang dipagarai bulu-bulu halus di celah kangkang Noreen. Tangannya ke kemaluan Noreen dan dengan menggunakan kedua ibu jarinya dia merenggangkan bibir yang dibasahi lendir itu.

“Sayang, tolong masukkan batang Bapak..” dia memberi arahan.

Tanpa menoleh tangan Noreen dengan cepat saja ke belakang mencari-mencari batang itu. Apabila ketemu terus saja ditariknya dan diselitkan di celahan buritnya yang sudah siap direkahkan oleh orang tua itu. Hanya selepas orang tua itu menekan kepala tombol itu ke dalam baru Noreen melepaskannya. Tangannya kemudian kehadapan untuk membantalkan kepalanya.

“Sedapnya, Pak..” dia merenggek lagi sambil punggungnya bergerak ke kiri dan ke kanan perlahan.

Tapi tiba-tiba.. Phhaapp..! Orang tua itu merejam batangnya ke dalam dengan puki Noreen dengan pantas hingga tenggelam sepenuhnya dan perutnya menghempap punggung Noreen.

“ADUH.. Oh mak..” janda muda itu berteriak kuat.

Walaupun memang dia sudah bersedia namun kemasukan batang yang besar itu ke dalamnya dengan tiba-tiba bukan saja membuat dia terkejut tetapi terasa senak sebentar. Liang farajnya terasa nyilu namun dia merasakan satu kelainan pula. Walau berbeza caranya tetap enak juga dirasakannya. Selalunya dia akan merasa batang dimasukan sedikit, dicabut dan dimasukkan lagi sedikit demi sedikit ke dalam sebelum vaginanya dia dienjot dengan laju. Orang tua itu menggembangkan batangnya sampai Noreen terasa lubang kemaluannya dipenuhi sepenuhnya sampai ke pintu rahim.

Noreen terasa pinggulnya dicengkam sebelum diikuti dengan batang itu ditarik keluar semula perlahan-perlahan sehingga kepalanya saja berada di dalam. Kemudian sekali lagi rejaman cepat ke dalamnya. Kali ini Noreen sudah bersedia. Kedua tangannya ke belakang untuk merenggangkan lagi lubang cipapnya.

“Oh.., Pak..!” Noreen mengerang.
“Sayang suka main macam ni?”
“Sedap, Pak. Kuat lagi Pak, Noreen dah nak sampai ni.” dan dua rejaman lagi kemaluannya sudah menggembang dan dia sudah orgasme.
“Ohh.. Aarrgghh..!” Noreen meraung, diikuti dengan ledakan umpama bom air dii celah kangkangnya.

Selepas itu bekas bapa mertuanya saja menarik dan menekan dengan laju sehingga sekali lagi Noreen menggerang-menggerang dibuatnya. Janda muda itu membalas tindakan itu dengan mengemut-emutkan liang farajnya. Biar dia rasa pulak, fikirnya. Kini giliran orang tua itu pula mendengus apabila merasakan liang vagina Noreen seperti mengurut-mengurut batangnya. Semakin dia melajukan permainannya, semakin galak pula dia merasakan batangnya dikemut. Akhirnya dia sendiri juga tidak dapat bertahan lagi untuk kali terakhir dia terjunam ke dalam lubang nikmat itu. Buat sejenak dia menahan nafas dan diikuti dengan pancutan jauh ke dalam rahim Noreen. Dia merangkul kemas pinggang Noreen sehingga ke pancutan terakhir.

“Arrgghh..!” dia mendengus.

Kehangatan pancutan itu juga dengan sendirinya membuat Noreen sekali lagi sampai ke kemuncaknya walaupun tidak sehebat kali pertama tadi. Orang tua itu bongkok mencium pipi bekas menantunya yang dibahasi keringat.

“Enak ya kalau kita boleh begini selalu?” dia berbisik di telinga Noreen.
“Kenapa tidak boleh?” Noreen menjawab.
“Terserah. Kamu boleh tinggal selama-lamanya di sini.” Dia tersenyum memikirkan kepuasan yang bakal dinikmati bersama Noreen pada hari-hari mendatang.

Di luar matahari sudah terbenam dan petang bertukar menjadi malam. Perlahan-Perlahan batangnya yang sudah sederhana keras tercabut dari celah kangkang bekas menantunya dan dia tertiarap di samping Noreen keletihan